
Dinamika Energi Global dan Dampaknya pada Sektor EBT di Indonesia
Di tengah perang dominasi energi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, Indonesia kini berada dalam posisi yang sangat strategis. Perubahan kebijakan dari kedua negara besar ini memengaruhi persepsi investor asing terhadap sektor energi terbarukan (EBT) di dalam negeri. Hal ini juga berdampak pada kinerja saham-saham emiten EBT seperti BREN, TOBA, OASA, dan PGEO.
Pada masa pemerintahan Trump, AS kembali mengedepankan penggunaan energi fosil, sementara Tiongkok fokus pada pengembangan energi terbarukan. Kedua negara ini memiliki hubungan kerja sama strategis dengan Indonesia dalam sektor energi. Namun, pergeseran kebijakan ini memberikan dampak signifikan terhadap arus investasi asing.
Miftahul Khaer, Research Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia, menjelaskan bahwa persepsi investor asing terhadap sektor EBT di Indonesia tidak bisa lepas dari dinamika geopolitik antara AS dan Tiongkok. Ia menilai bahwa komitmen investasi besar dari Tiongkok memberi sinyal dominasi yang lebih kuat dibandingkan janji JETP yang kini tergerus setelah AS mundur dari komitmen US$2 miliar mereka.
Kerja Sama dengan Tiongkok dan AS
Pada 2023, sebanyak 9 perusahaan asal Tiongkok menandatangani perjanjian senilai lebih dari US$54 miliar dengan PLN untuk proyek energi bersih. Selain itu, kunjungan Presiden Prabowo ke Beijing pada 2024 menambah komitmen senilai US$10 miliar. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan komitmen dari kerja sama JETP yang mencapai US$20 miliar pada 2022.
JETP adalah kerja sama antara Indonesia dengan negara-negara maju, termasuk AS yang sebelumnya berkomitmen menyumbangkan US$2 miliar. Namun, AS yang dipimpin oleh Trump mundur dari komitmen tersebut awal tahun ini. Perkembangan ini membuat sebagian investor asing melihat adanya risiko ketergantungan di masa depan.
Pergerakan Saham EBT
Berdasarkan data penutupan pasar pada Jumat (26/9/2025), beberapa emiten EBT mengalami net sell asing. PT Barito Renewable Energy Tbk. (BREN) mencatat net sell asing year to date sebesar Rp193,14 miliar. Sedangkan, saham PT TBS Energi Utama Tbk. (TOBA) membukukan net sell asing sebesar Rp17,16 miliar, dan saham PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO) mencatat net sell asing Rp324,08 miliar.
Namun, kondisi berbeda dialami emiten EBT lainnya seperti PT Arkora Hydro Tbk. (ARKO) yang menorehkan net buy asing year to date Rp6,90 miliar dan saham PT Maharaksa Biru Energi Tbk. (OASA) dengan capaian net buy asing sebesar Rp231,26 miliar.
Potensi Investasi di Sektor EBT
Meski ada ketidakpastian, Miftahul melihat peluang bagi Indonesia untuk menyeimbangkan kerja sama dengan AS dan Tiongkok. Jika Presiden Prabowo berhasil melakukan hal ini, Indonesia dapat kembali menjadi magnet investasi karena tingginya kebutuhan investasi energi bersih hingga 2030.
Pemerintah memperkirakan kebutuhan investasi energi bersih Indonesia mencapai US$97 miliar hingga 2030. Investasi asing sangat penting karena kontribusi energi surya dan angin masih rendah, hanya 0,24% dari total energi nasional. Bandingkan dengan kontribusi sebesar 3,8% di Filipina atau 13% di Vietnam.
Dari sisi saham, BREN dan PGEO tetap prospektif untuk jangka panjang berkat portofolio proyek yang solid. Meskipun jangka pendeknya volatilitas masih tinggi, target harga untuk BREN adalah Rp9.400 dan PGEO dengan target Rp1.415.
Kesimpulan
Perang dominasi energi antara AS dan Tiongkok akan terus memengaruhi arus investasi di sektor EBT di Indonesia. Meski ada tantangan, peluang untuk menyeimbangkan kerja sama dengan kedua negara ini tetap terbuka. Dengan kebutuhan investasi yang besar, sektor EBT di Indonesia masih memiliki potensi yang menarik.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!