
Kebiasaan Masyarakat Demak dalam Berinvestasi Emas
Di tengah situasi ekonomi yang tidak stabil, banyak masyarakat kini mulai mempertimbangkan investasi sebagai solusi untuk menghadapi ketidakpastian. Di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, kebiasaan berinvestasi emas sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi para petani dan keluarga dengan penghasilan terbatas.
Endah Kasinung (29), seorang ibu rumah tangga satu anak sekaligus guru non-ASN, menjadi contoh nyata dari masyarakat yang memilih emas sebagai bentuk tabungan jangka panjang. Dengan penghasilan yang tidak besar, ia merasa perlu menyisihkan uang untuk pendidikan anaknya di masa depan. Namun, pada suatu waktu, ia juga mendapatkan dorongan dari suaminya untuk menabung emas.
“Waktu itu bilang, 'nanti bakalan emas itu melonjak tinggi, mending beli aja dulu'” ujar Endah, meniru perkataan suaminya. Awalnya, ia ragu karena harga emas tiba-tiba melonjak setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif dagang. Harga emas yang awalnya Rp 1,2 juta per gram naik menjadi hingga Rp 1,8 juta per gram. Meski begitu, Endah memutuskan untuk memborong emas, bahkan menguras tabungan di bank.
Endah percaya bahwa emas adalah investasi yang aman. Ia mengaku belum pernah mengalami kerugian dari investasi ini. “Selama ini ya, selama aku beli belum pernah anjlok, anjlok pun masih untung kalau dijual,” katanya. Meskipun tidak tertarik mengenakan perhiasan, ia lebih memilih berinvestasi logam mulia karena lebih praktis dan bisa disimpan tanpa harus digunakan.
Budaya Emas di Kalangan Petani Demak
Budaya membeli emas bukan hanya terjadi di kalangan Endah, tetapi juga menjadi kebiasaan umum di kalangan petani Demak. Salah satunya adalah Muryanah (45), warga Desa Kedungwaru, Kecamatan Karanganyar. Ia telah mengoleksi perhiasan seperti gelang, kalung, dan anting yang dibeli secara bertahap usai panen padi. Alasannya sederhana: jika suatu hari mengalami kesulitan atau gagal panen, perhiasan tersebut bisa dijadikan sebagai penolong dengan cara menggadaikannya ke toko emas.
“Sudah umumnya (beli emas), yang suaminya merantau (kerja) bangunan sama. Jaga-jaga pas tidak ada (uang), panen tidak hasil tinggal bawa ke toko. Nanti ambil lagi pas punya uang,” kata Muryanah. Ia juga tidak ingin menjual perhiasan tersebut, karena menganggapnya sebagai simpanan jangka panjang. Jika memiliki uang berlebih, ia justru menukarnya dengan perhiasan serupa yang lebih berat.
Selain itu, penggunaan perhiasan saat acara hajatan menjadi kebiasaan warga setempat sekaligus menjaga citra suami. “Tidak mau (dijual) kalau bisa besarin. Pas acara tangan kosong nanti dikira tidak dikasih suami,” ujarnya.
Investasi Emas sebagai Bentuk Kesadaran Masyarakat
Isa Paroh (35), seorang petani, juga mengungkapkan keinginan untuk membeli emas meski harga sedang naik. Ia mengaku bahwa meskipun harga emas kini meningkat, ia tetap berkeinginan membeli selagi bisa. “Pas lagi murah tidak ada uang, kaya gitu. Ini buat simpanan saja,” katanya. Ia menyisihkan uang setiap panen yang menguntungkan untuk membeli perhiasan emas. Meski tidak bertujuan untuk memakainya, ia memandang emas sebagai tabungan yang bisa dimanfaatkan sewaktu-waktu.
Pimpinan Cabang Pegadaian Demak, Sri Ratna Wartiningsih, mengungkapkan bahwa tren kenaikan harga emas sejak awal tahun 2025 justru meningkatkan daya beli masyarakat. Menurutnya, masyarakat semakin sadar akan pentingnya investasi emas. “Karena mungkin tingkat kesadaran masyarakat tentang investasi emas itu mereka sudah mengetahui dan tertanam,” ujarnya.
Ratna mencontohkan lonjakan pengunjung di Galeri 24, yang mencapai peningkatan hingga 50 persen pada awal April 2025. Selain memproduksi produk sendiri, Galeri 24 menawarkan emas batangan dari berbagai merek seperti Antam dan USB. Dengan demikian, ia berharap minat investasi emas masyarakat kian meningkat dan sejalan dengan tujuan Pegadaian dalam "mengemaskan Indonesia".
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!