
Pemangkasan Defisit APBN 2026 dan Tantangan yang Menghadang
Pemerintah telah menetapkan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tahun 2026. Dalam anggaran tersebut, defisit anggaran dipatok meningkat dari sebesar Rp 638,81 triliun menjadi Rp 689,15 triliun, atau setara dengan 2,68% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Meski terjadi peningkatan defisit, beberapa ahli ekonomi menyatakan bahwa ruang fiskal pemerintah masih relatif aman.
Salah satu tokoh yang memberikan analisis mengenai hal ini adalah Wijayanto Samirin, ekonom Universitas Paramadina. Menurutnya, defisit APBN saat ini masih dalam batas wajar karena berada di bawah 3% dari PDB. Ia menilai bahwa ada potensi penghematan yang bisa dilakukan, khususnya terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang mungkin tidak terserap secara penuh.
“Dalam prakteknya nanti, anggaran MBG tidak akan terserap 100% sehingga akan ada penghematan,” ujarnya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun anggaran meningkat, pemerintah masih memiliki ruang untuk memperbaiki efisiensi belanja tanpa mengorbankan prioritas utama.
Namun, Wijayanto juga menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam pengelolaan utang. Ia menekankan bahwa kesepakatan burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) perlu diperhatikan lebih lanjut. Menurutnya, ide ini bisa berpotensi memperburuk risiko utang jika digunakan untuk pembiayaan program yang bersifat konsumtif.
“Utang hanya untuk program yang meningkatkan produktivitas ekonomi, bukan untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif,” tegasnya. Selain itu, ia juga menyarankan agar tenor utang dikelola dengan baik agar tidak menumpuk pada tahun tertentu, sehingga risiko fiskal dapat diminimalkan.
Kunci Keberhasilan APBN 2026
Selain itu, Wijayanto menekankan pentingnya menjaga disiplin kebijakan fiskal dan moneter. Ia menilai bahwa independensi BI sangat penting untuk menjaga kredibilitas rupiah dan stabilitas ekonomi jangka panjang.
Di sisi lain, Yusuf Rendy Manilet dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menilai bahwa pelebaran defisit APBN 2026 menjadi sinyal bagi pemerintah untuk lebih berhati-hati. Menurutnya, defisit bisa bermanfaat jika diarahkan ke investasi produktif seperti pembangunan infrastruktur dan penguatan sumber daya manusia (SDM).
Namun, ia juga menyoroti risiko jika defisit bersifat struktural. Hal ini bisa menyebabkan beban bunga utang meningkat, kerentanan terhadap guncangan global, serta menekan ruang fiskal di masa depan.
Yusuf menyarankan langkah utama yang perlu ditempuh adalah memperkuat penerimaan negara melalui reformasi perpajakan dan perluasan basis pajak. Selain itu, pemerintah juga bisa meningkatkan efisiensi belanja dengan memangkas anggaran yang tidak tepat sasaran serta mendorong kemitraan dengan sektor swasta.
Komitmen Pemerintah dalam Pengelolaan Utang
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa juga memberikan pernyataan mengenai arah pengelolaan utang. Ia memastikan bahwa pemerintah tidak akan agresif dalam menambah utang. Ia memproyeksikan realisasi utang pada tahun 2026 bisa lebih rendah dari yang ditetapkan dalam APBN.
“Jadi harusnya saya tidak akan menambah utang terlalu besar. Mungkin ada kemungkinan, tidak akan sebesar yang ada di APBN,” ujar Purbaya. Ia menegaskan bahwa pemerintah akan lebih fokus mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga tidak perlu banyak menambah utang.
“Karena saya akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat, sehingga dengan kondisi yang sama, dengan APBN yang sama, saya akan mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan pendapatan yang lebih tinggi,” tambahnya. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan negara.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!