
Banjir Besar di Bali: Penyebab dan Dampak yang Mengkhawatirkan
Pada tanggal 9 hingga 10 September 2025, sejumlah wilayah di Bali mengalami banjir besar yang disebut sebagai yang terparah dalam sepuluh tahun terakhir. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali melaporkan bahwa banjir ini menyebar ke 163 titik lokasi selama periode 9-12 September, sementara longsor terjadi di 64 titik. Sampai dengan hari Sabtu, 13 September, korban meninggal mencapai 18 orang, empat lainnya masih dalam pencarian, dan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa hujan ekstrem memang terjadi di beberapa wilayah Bali pada saat itu. Contohnya, curah hujan di Kabupaten Jembrana mencapai 385,5 mm per hari, melebihi batas bawah kategori hujan ekstrem. Meskipun cuaca ekstrem menjadi faktor utama, pihak Kementerian Lingkungan Hidup (LH) menyatakan bahwa alih fungsi lahan menjadi penyebab utama banjir bandang di Bali.
Menurut Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq, alih fungsi lahan telah berlangsung selama lebih dari sepuluh tahun, mulai dari 2015 hingga 2025, dengan konversi lahan sebesar 459 hektare. Data statistik Kementerian LH menunjukkan bahwa pada 2022, luas lahan sawah di Bali tersisa sekitar 71,8 ribu hektare, atau turun 10,3% dibandingkan tahun 2015. Di sisi lain, lahan perkebunan juga mengalami penurunan sebesar 7,5%.
Selain itu, data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa tutupan pohon di Bali telah berkurang sebesar 8,5 ribu hektare sepanjang 2001 hingga 2024. Penyusutan terbesar terjadi di Kabupaten Jembrana, yang mencapai 2,9 ribu hektare.
Studi yang dilakukan oleh Ramadhan dan Murti (2024) menemukan bahwa lahan terbangun di kawasan metropolitan Bali, seperti Kota Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (wilayah Sarbagita), berkembang pesat. Pada 2023, luas lahan terbangun di wilayah ini meningkat sebesar 9,1 ribu hektare dibandingkan 2018. Kenaikan paling signifikan terjadi di Kabupaten Tabanan.
Selain alih fungsi lahan, Kementerian LH juga menyoroti buruknya tata kelola persampahan di Bali sebagai salah satu faktor pemicu banjir. Data menunjukkan bahwa jumlah timbunan sampah di Bali pada 2024 mencapai 1,2 juta ton, naik 46,4% dibandingkan 2019. Kota Denpasar menjadi penyumbang terbesar dari peningkatan jumlah sampah tersebut.
Dampak yang Menyeluruh
Banjir besar yang terjadi di Bali tidak hanya menyebabkan korban jiwa dan kerusakan fisik, tetapi juga memberikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan ekonomi. Perubahan iklim, alih fungsi lahan, serta pengelolaan sampah yang kurang optimal semakin memperburuk kondisi daerah-daerah rawan banjir.
Banyak ahli lingkungan menilai bahwa upaya pencegahan banjir harus dimulai dari pengelolaan lahan yang lebih baik, perlindungan hutan dan lahan hijau, serta sistem pengelolaan sampah yang efektif. Selain itu, peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan juga sangat diperlukan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Tantangan Ke depan
Kementerian Lingkungan Hidup dan lembaga terkait lainnya diharapkan dapat mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah alih fungsi lahan dan pengelolaan sampah. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta diperlukan agar Bali bisa kembali menjadi wilayah yang ramah lingkungan dan aman dari bencana alam.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!