Kisah Pahit Dua Pekerja Sawit Malaka yang Berjuang 19 Tahun di Malaysia

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Kisah Pahit Dua Pekerja Sawit Malaka yang Berjuang 19 Tahun di Malaysia

Kembali ke Kampung Setelah 19 Tahun Bekerja di Malaysia

Dua warga Desa Maktihan, Kecamatan Malaka Barat, Kabupaten Malaka, yaitu Viktorius Seran (41) dan Lambertus Klau (51), akhirnya kembali ke kampung halaman setelah menempuh perjalanan panjang sebagai pekerja di perkebunan kelapa sawit di Malaysia. Perjalanan mereka penuh dengan tantangan, baik selama bekerja maupun saat proses kepulangan.

Viktorius Seran, yang ditemui di kediamannya pada Jumat (26/9/2025), menceritakan bagaimana ia pertama kali berangkat ke Malaysia pada tahun 2006. Saat itu, ia diajak oleh ponakannya, Yonatan Bria (45). Keberangkatan dilakukan melalui jalur perusahaan, difasilitasi oleh sebuah PT di Dumai, Riau, yang kini bahkan nama perusahaan itu sudah terlupakan karena pemiliknya telah meninggal.

Selama enam bulan, ia menunggu pengurusan paspor di Dumai sebelum akhirnya dibawa ke Malaysia bersama rombongan berjumlah 12 orang asal Malaka. “Tidak ada biaya pendaftaran, semua transportasi dan akomodasi ditanggung perusahaan,” ungkap Viktorius. Dokumen yang ia gunakan saat itu hanyalah KTP sementara dari kantor desa dan paspor.

Perjalanan dari Malaka hingga Dumai memakan waktu seminggu. Dari Malaka ke Atambua menggunakan Mikrolet, kemudian melalui atapupu mereka kemudian menggunakan kapal barang menuju Dumai. Dari Dumai, mereka menyeberang ke Malaysia menggunakan kapal feri dengan waktu tempuh sekitar tiga hingga empat jam.

Setibanya di Perak, Malaysia Barat, rombongan langsung dijemput oleh pihak perusahaan melalui sosok bernama Mr. Diong, seorang pengusaha keturunan Tionghoa pemilik kebun sawit tempat mereka bekerja. “Begitu tiba, kami masing-masing langsung ditempatkan di mes ukuran 7x5 meter persegi dan langsung masuk kerja. Semua pekerjaan sudah disiapkan perusahaan,” kenangnya.

Selama bekerja, perusahaan melakukan pemotongan gaji sebesar 100 ringgit per bulan sebagai pengganti biaya transportasi dan makan selama perjalanan awal yang berlangsung selama setahun. Selebihnya, pekerja bebas menerima gajinya tanpa potongan lain. Viktorius mengaku tidak pernah menghadapi masalah besar seperti razia atau tindak kekerasan dari aparat selama bekerja di sana. Namun, ketika sakit, ia harus menanggung biaya sendiri karena perusahaan tidak menyediakan fasilitas kesehatan.

Lambertus Klau, rekan seperjuangan Viktorius, membenarkan pengalaman itu. Ia menambahkan bahwa gaji pekerja sawit sangat bergantung pada musim panen. “Kalau musim buah bisa sampai 2.000 ringgit per bulan, tapi kalau tidak, hanya sekitar 1.000 sampai 1.500 ringgit,” jelasnya.

Setelah 19 tahun, Viktorius memutuskan pulang karena ingin kembali berkumpul dengan keluarga, terutama demi pendidikan anaknya. Namun, kepulangannya tidak berjalan mulus. Ia ditangkap oleh Polisi Air Malaysia di daerah Sungai Besar, perbatasan Selangor dan Perak, lantaran pulang menggunakan jalur ilegal. Paspor yang ia miliki sudah kedaluwarsa lebih dari sembilan tahun.

“Waktu itu kami ditangkap bersama 23 orang dewasa dan lima anak-anak. Dari Malaka ada empat orang, tiga dewasa dan satu anak kecil,” tutur Viktorius. Barang-barang miliknya pun ikut disita oleh aparat, termasuk uang tunai sebesar Rp 16 juta dan 2.000 ringgit, satu tas pakaian, enam senter, satu laptop, serta tiga ponsel Android. Setelah itu, mereka sempat ditahan di Balai Sungai Besar, lalu dipindahkan ke penjara Kajang selama 16 hari. Selanjutnya, ia ditahan di pusat penampungan imigrasi Malaysia di Malaka selama satu bulan 14 hari.

Hal yang sama dialami oleh Lambertus Klau. Ia bahkan harus merelakan uang Rp 30 juta, 2.270 ringgit, dan satu cincin emas seharga 1.250 ringgit yang disita oleh aparat Malaysia saat penangkapan.

Akhirnya, setelah melalui proses hukum dan penahanan, keduanya dipulangkan melalui jalur resmi imigrasi. Dari Malaysia, mereka difasilitasi hingga ke Dumai, lalu pemerintah Indonesia membantu kepulangan mereka ke Kabupaten Malaka.

Meski pengalaman kerja di Malaysia membawa penghasilan yang cukup untuk menghidupi keluarga selama bertahun-tahun, baik Viktorius maupun Lambertus sepakat untuk tidak kembali lagi. Risiko besar yang mereka alami di akhir perjalanan menjadi pelajaran berharga. “Sekarang saya hanya ingin tinggal di kampung, bekerja apa adanya di sini, dan melihat anak bisa sekolah dengan baik,” kata Viktorius. “Kalau dihitung-hitung, semua hasil kerja keras di sana habis begitu saja saat ditangkap. Itu jadi pengalaman pahit, tapi juga pelajaran," timpal Lambertus.