
Percepatan Reformasi Sektor Rill untuk Dorong Pertumbuhan Ekonomi
Pemerintah Indonesia terus memperkuat langkah-langkah reformasi di sektor riil guna mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan realisasi investasi. Salah satu upaya penting adalah penguatan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari strategi untuk mempercepat proses perizinan usaha, sehingga memberikan ruang bagi pengembangan proyek yang lebih efisien.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa reformasi sektor riil sudah berjalan dan akan menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi ke depan. Ia menegaskan bahwa implementasi PP 28 telah dimulai sejak 5 Oktober 2025. Dengan adanya reformasi ini, pemerintah berharap pertumbuhan ekonomi tidak hanya bergantung pada stimulus fiskal dan moneter, tetapi juga pada peningkatan produktivitas sektor riil dan kemudahan berusaha.
Efek Implementasi PP 28 Tahun 2025
Kepala Ekonom Josua Pardede menjelaskan bahwa penerapan PP 28 Tahun 2025 akan lebih banyak mempercepat realisasi proyek ketimbang langsung memicu lonjakan investasi baru di sisa akhir tahun ini. Aturan ini mempertegas pelaksanaan perizinan berbasis risiko melalui OSS (Online Single Submission) sekaligus melarang kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah menambah persyaratan di luar ketentuan. Hal ini diharapkan dapat memotong waktu dan ketidakpastian di beberapa titik kritis dalam proses perizinan.
Beberapa percepatan yang dimaksud antara lain konfirmasi otomatis Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) saat rencana detail tata ruang terintegrasi di OSS, percepatan izin tanpa penilaian berjenjang untuk proyek di kawasan ekonomi khusus (KEK) atau kawasan industri, serta pemrosesan elektronik untuk seluruh persyaratan dasar maupun izin penunjang. Menurut Josua, efeknya kemungkinan lebih berupa percepatan proyek ketimbang peningkatan proyek baru, karena realisasi investasi biasanya berjeda 1 sampai 3 triwulan setelah perbaikan perizinan.
Dampak pada Investasi dan Tenaga Kerja
Dari sisi investasi, realisasi investasi semester I-2025 sudah mencapai Rp 942,9 triliun atau naik 13,6% secara tahunan (year on year/yoy), dengan serapan tenaga kerja 1,26 juta orang. Pada Kuartal II saja, investasi mencapai Rp 477,7 triliun dengan 665.700 pekerja. Dengan baseline yang kuat, percepatan izin usaha pada Kuartal IV-2025 bisa membantu menjaga momentum di sektor padat modal dan padat karya yang sudah dominan pada 2025.
Josua menambahkan, dampak implementasi PP 28 Tahun 2025 juga akan membawa dampak kualitas investasi bagi sejumlah sektor kunci, mulai dari hilirisasi, properti industri, hingga penyerapan tenaga kerja. Mekanisme percepatan izin di kawasan ekonomi khusus (KEK) maupun kawasan industri serta konfirmasi otomatis Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) akan mengurangi risiko penundaan proyek smelter dan manufaktur di sentra hilirisasi seperti Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Jawa Barat.
Kesiapan Infrastruktur dan Pembiayaan
Bagi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), kepastian KKPR, penerbitan Peresetujuan Bangunan Gedung (PGB)/Sertifikat aik fungsi (SLF) melalui OSS, serta larangan penambahan izin tambahan oleh daerah diyakini menurunkan biaya transaksi. Efeknya akan terasa pada subsektor gudang, kawasan industri, perkantoran industri, dan logistik yang juga tumbuh besar tahun ini.
Dari sisi tenaga kerja, Josua memperkirakan efek langsung aturan baru ini akan muncul pada kuartal IV-2025, berupa percepatan konstruksi dan operasional awal proyek. Hal ini akan menyerap pekerja konstruksi, logistik, dan jasa pendukung. Data semester I-2025 bisa menjadi benchmark, di mana serapan kerja mencapai ratusan ribu per triwulan sebagaimana pola Kuartal II-2025.
Tantangan dan Risiko
Namun, Josua mengingatkan bahwa perizinan bukan satu-satunya hambatan dalam realisasi investasi. Ia menyebut hambatan implementasi program dan investasi juga terkait koordinasi lintas instansi, kualitas proyek, pembiayaan, dan likuiditas nasional. Perbaikan perizinan perlu dibarengi penyediaan lahan, utilitas, dan akses pembiayaan agar realisasi benar-benar naik, bukan sekadar izin terbit lebih cepat.
Selain itu, Josua juga menyinggung potensi perbaikan Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Menurutnya, kepastian waktu perizinan menekan idle capital dan lead time proyek berpotensi menurunkan ICOR asalkan produktivitas modal benar-benar meningkat. Penurunan ICOR juga berarti proyek lebih cepat selesai, utilisasi aset tinggi, dan kebocoran biaya berkurang.
Meski demikian, Josua mengingatkan bahwa percepatan izin bukan satu-satunya faktor. ICOR tetap bisa tinggi jika kualitas proyek rendah atau sektor yang dipilih memang memiliki ICOR tinggi, infrastruktur pendukung serta pasokan energi, air, dan lahan macet, biaya pembiayaan mahal atau likuiditas ketat yang membuat biaya modal membengkak. Risiko ICOR tinggi dan tantangan pembiayaan masih jadi hambatan kunci. Proyek bisa terlihat efisien di atas kertas, tetapi jika likuiditas nasional ketat atau spesifikasi teknis kurang matang, ICOR tetap tinggi.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!