
Langkah Penting Pemerintah dalam Memacu Pertumbuhan Ekonomi
Prasasti Center for Policy Studies menilai langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam menempatkan dana sebesar Rp 200 triliun di himpunan bank milik negara (Himbara) dan Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai terobosan penting. Kebijakan ini dinilai mampu mendorong pertumbuhan kredit perbankan dan investasi, yang pada akhirnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi.
Program and Policy Director Prasasti, Piter Abdullah, menjelaskan bahwa efektivitas kebijakan ini sangat bergantung pada kekuatan permintaan kredit. Tujuan utama dari penempatan dana tersebut adalah untuk mendorong pertumbuhan kredit yang dapat meningkatkan investasi serta mempercepat pertumbuhan ekonomi. Ia menilai bahwa upaya ini perlu didukung dengan kebijakan yang searah dari otoritas moneter serta deregulasi di sektor riil.
Dana sebesar Rp 200 triliun tersebut setara dengan 4,5% dari total simpanan perbankan nasional. Dana tersebut dialokasikan kepada beberapa bank Himbara, seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, dan Bank Negara Indonesia (BNI) masing-masing sebesar Rp 55 triliun. Sementara itu, Bank Tabungan Negara (BTN) mendapat Rp 25 triliun dan BSI sebesar Rp 10 triliun. Biaya penempatan dana ditetapkan sebesar 4%, lebih rendah dibandingkan deposito khusus sebelumnya yang berkisar antara 5%-7%. Menurut Piter, langkah ini akan menurunkan biaya pendanaan (funding cost) dan memperkuat kapasitas intermediasi perbankan.
Pertumbuhan Kredit Masih Terbatas
Meski ada kemajuan, data menunjukkan bahwa hingga Agustus 2025, pertumbuhan kredit perbankan baru mencapai 7,56% secara tahunan (year on year/YoY). Namun, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) terjaga di bawah 3%. Likuiditas perbankan juga relatif aman, dengan rasio Alat Likuid terhadap Non Core Deposit (AL/NCD) sebesar 120,25% dan terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 27,25%, jauh di atas ambang batas 10%.
Namun, tantangan utama datang dari lemahnya permintaan kredit. Dana kredit yang belum cair (undisbursed loan) mencapai Rp 2.372 triliun atau 22,71% dari plafon kredit. Angka ini menunjukkan masih banyak dana yang sudah disediakan bank tetapi tidak digunakan oleh dunia usaha, mengindikasikan lemahnya permintaan kredit. Piter menyatakan bahwa hal ini dipicu oleh aktivitas ekonomi pascapandemi yang belum sepenuhnya pulih serta ketidakpastian global akibat perang Ukraina, konflik Israel-Palestina, dan perang dagang yang dipicu kebijakan Amerika Serikat.
Kebijakan Fiskal dan Daya Beli Rumah Tangga
Piter menilai bahwa kebijakan penempatan dana pemerintah di perbankan perlu dipadukan dengan langkah fiskal yang lebih langsung agar mampu menciptakan permintaan nyata. Menurutnya, penyediaan likuiditas saja tidak cukup untuk membangkitkan semangat usaha. Dibutuhkan penguatan daya beli rumah tangga dan kepercayaan dunia bisnis.
Gundy Cahyadi, Research Director Prasasti, menambahkan bahwa pendekatan strategis adalah mengombinasikan keringanan likuiditas dengan kebijakan fiskal yang secara langsung meningkatkan pendapatan, menciptakan lapangan kerja, serta merangsang minat investasi. Ia menilai paket kebijakan ekonomi 8+4+5 senilai Rp 16,2 triliun yang diumumkan pada 15 September 2025 menjadi salah satu instrumen utama pemerintah untuk mendorong pertumbuhan.
Paket ini menargetkan penciptaan tiga juta lapangan kerja hingga akhir tahun. Isinya mengombinasikan stimulus jangka pendek, seperti bantuan beras, insentif pajak, dan program padat karya, dengan inisiatif jangka panjang di sektor koperasi, perkebunan, perikanan, dan akuakultur. Gundy menilai pendekatan ini tidak hanya menyasar konsumsi rumah tangga, tetapi juga memperkuat fondasi produktivitas ekonomi nasional.
Tantangan Implementasi dan Peran Pemerintah
Meski demikian, Gundy menekankan bahwa tantangan ada pada implementasi. Tanpa pengawasan ketat dan koordinasi yang solid, dampak kebijakan bisa terfragmentasi. Ia menilai bahwa bila dijalankan konsisten, paket ini berpotensi menjadi katalis nyata pertumbuhan. Ia juga menekankan pentingnya kebijakan fiskal yang bersifat counter cyclical. Di tengah lemahnya permintaan dari sektor swasta, menurutnya, negara harus hadir lebih kuat.
Komitmen Menteri Purbaya membentuk satuan tugas khusus untuk mempercepat belanja adalah langkah tepat. Kini yang terpenting adalah memastikan realisasi berjalan seiring dengan janji.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!