
Pergerakan Saham LQ45 dan IHSG di Tengah Tekanan Pasar
Indeks LQ45, yang terdiri dari saham-saham berkapitalisasi besar atau big caps, masih mengalami penurunan signifikan dibandingkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sejak awal tahun 2025. Berdasarkan data terbaru, indeks LQ45 melemah hingga 3,74% secara year to date (ytd), sementara IHSG telah melaju hingga 13,57% ytd.
Menurut Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), David Kurniawan, pelemahan LQ45 dipengaruhi oleh kinerja saham big caps di sektor perbankan, konsumsi, dan komoditas yang cenderung stagnan atau tertekan sepanjang tahun. Hal ini disebabkan oleh aksi profit taking dari investor asing, margin yang tergerus akibat tingginya biaya dana, serta tekanan global seperti harga batu bara, nikel, hingga minyak sawit atau crude palm oil (CPO).
Sebaliknya, IHSG justru mendapat dukungan dari reli saham-saham second liner dan new economy. Kenaikan ini didorong oleh spekulasi investor ritel serta sentimen positif dari sektor-sektor tertentu. VP Equity Retail Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, menilai bahwa saham di LQ45 masih tertahan karena bobot terbesarnya ada di sektor keuangan, yang pergerakan sahamnya masih menghadapi tekanan.
Sementara itu, penguatan IHSG belakangan ini lebih banyak digerakkan oleh saham-saham konglomerasi. Kenaikan ini juga terlihat dari kinerja keuangan emiten terkait serta dinamika rebalancing indeks global seperti MSCI dan FTSE.
Faktor Penyebab Pelemahan LQ45
Investment Analyst Infovesta Utama, Ekky Topan, menjelaskan bahwa lemahnya performa LQ45 dibandingkan IHSG saat ini disebabkan dua hal utama. Pertama, aksi net sell investor asing yang masih terus berlanjut. Tekanan ini dipicu oleh berbagai faktor seperti kekhawatiran terhadap arah kebijakan fiskal, pelemahan nilai tukar rupiah, serta kondisi ekonomi global yang belum sepenuhnya membaik.
Kedua, pergerakan IHSG saat ini lebih banyak didorong oleh saham-saham lapis dua dan emiten konglomerasi yang mayoritas berada di luar konstituen LQ45. Katalis yang mendorong sektor-sektor tersebut antara lain aksi korporasi dan sentimen sektoral seperti energi, hilirisasi, EBT, dan konstruksi.
Peluang Rebound untuk Saham LQ45
Ekky menyatakan bahwa peluang saham-saham LQ45 untuk rebound hingga akhir tahun masih cukup terbuka. Penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI), suntikan likuiditas ke sektor perbankan, serta potensi stabilisasi kebijakan fiskal dari pemerintah bisa menjadi katalis positif yang mendorong kinerja saham-saham berkapitalisasi besar.
Jika ke depan mulai terlihat pertumbuhan kredit yang membaik dan stabilitas rupiah terjaga, investor institusi kemungkinan akan kembali mengakumulasi saham-saham LQ45, apalagi menjelang periode window dressing dan rilis laporan keuangan kuartal III.
David Kurniawan mengemukakan pandangan serupa. Ia menilai, peluang penurunan suku bunga dapat menjadi katalis positif karena mampu mengurangi beban sektor perbankan maupun konsumer. Selain itu, ada peluang aliran dana asing balik masuk ke big caps setelah valuasi relatif murah dibandingkan peers regional.
Oktavianus Audi menambahkan bahwa saham LQ45 memiliki outlook stabil hingga positif didorong oleh sentimen pelonggaran kebijakan moneter serta perbaikan kinerja keuangan khususnya di kuartal III dan kuartal IV tahun 2025.
Rekomendasi Saham LQ45
Audi merekomendasikan buy saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dengan target harga masing-masing Rp 9.000 dan Rp 4.250 per saham. Ia juga menyarankan trading buy saham PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) dan PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) dengan target harga masing-masing Rp 3.450 dan Rp 490 per saham.
Sementara itu, David menyarankan buy saham BBRI, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) dengan target harga sebesar Rp 4.700, Rp 7.100 dan Rp 3.700 per saham.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!