
Risiko Fiskal Jangka Menengah dalam Anggaran Negara 2025
Angka defisit anggaran negara sebesar 1,35 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2025 mungkin tampak relatif rendah. Namun, di balik angka tersebut, terdapat serangkaian risiko fiskal jangka menengah yang perlu mendapat perhatian khusus. Dosen dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Listya Endang Artiani menjelaskan bahwa dua faktor utama yang menjadi tantangan adalah ketergantungan pada penerimaan pajak yang rapuh serta meningkatnya belanja subsidi energi yang semakin sulit dikendalikan.
Dari sisi penerimaan pajak, tren hingga Agustus 2025 tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan. Realisasi pajak hanya mencapai Rp 1.135,4 triliun, atau sekitar 51,9 persen dari target. Pertumbuhan pajak juga menunjukkan penurunan sebesar 5,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pelemahan ini terutama terjadi pada pajak penghasilan badan, yang dipengaruhi oleh turunnya harga komoditas global yang menekan laba perusahaan tambang dan migas. Selain itu, pajak pertambahan nilai (PPN) juga tertekan akibat konsumsi yang didominasi oleh subsidi pemerintah, bukan permintaan riil.
Struktur penerimaan pajak yang demikian membuat basis pajak Indonesia semakin sempit. Jika perekonomian didominasi sektor informal atau berbasis komoditas yang volatil, maka pajak menjadi tidak responsif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, meskipun PDB tumbuh 5 persen, penerimaan pajak bisa stagnan atau bahkan menurun karena basis yang lemah.
Reformasi perpajakan melalui UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) seharusnya mampu memperluas basis pajak. Namun, realisasi menunjukkan bahwa kebijakan ini belum optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kepatuhan pajak yang rendah, praktik penghindaran pajak, serta lemahnya integrasi sistem data ekonomi formal dan informal.
Jika tren ini terus berlanjut, penerimaan pajak hanya akan cukup untuk menutup belanja rutin seperti gaji, bunga utang, dan subsidi. Tidak akan cukup untuk pembiayaan pembangunan produktif. Dalam literatur ekonomi publik, fenomena ini dikenal sebagai fiscal crowding-out, yaitu ketika penerimaan negara habis untuk belanja wajib, sehingga ruang untuk belanja pembangunan semakin menyempit.
Risiko dari Belanja Subsidi Energi
Sementara itu, dari sisi belanja, subsidi energi menjadi sumber risiko terbesar. Hingga Agustus 2025, realisasi subsidi dan kompensasi energi mencapai Rp 176,5 triliun. Meski angka ini membantu menjaga inflasi tetap rendah di kisaran 2,3 persen year on year (yoy), efek jangka panjangnya sangat problematis.
Teori fiscal dependence menjelaskan bahwa pemerintah yang terbiasa menggunakan subsidi energi akan menghadapi tekanan politik untuk mempertahankannya, meskipun secara ekonomi subsidi tersebut tidak efisien. Selain itu, dalam kerangka teori distribusi fiskal, subsidi energi bersifat regresif, lebih banyak dinikmati oleh kelompok menengah-atas yang konsumsi BBM dan listriknya lebih tinggi.
Akibatnya, efektivitas subsidi energi dalam melindungi kelompok miskin sangat dipertanyakan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan subsidi energi perlu dievaluasi ulang agar lebih efisien dan adil dalam distribusi manfaatnya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!