
Korea Utara Bersedia Berunding dengan AS Jika Tidak Lagi Menuntut Denuklirisasi
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, menyampaikan pernyataan yang menunjukkan adanya kesempatan untuk kembali berunding dengan Amerika Serikat (AS), asalkan negara tersebut menghentikan tekanan terhadap Pyongyang untuk menyerahkan senjata nuklirnya. Pernyataan ini disampaikan saat Kim berpidato di Majelis Rakyat Tertinggi di ibu kota Pyongyang.
Dalam pidatonya, Kim menyatakan bahwa tidak ada alasan bagi Korea Utara untuk duduk bersama AS jika pihak AS tetap mempertahankan permintaan denuklirisasi. Ia menegaskan bahwa jika AS mampu menerima kenyataan dan menjalin koeksistensi damai, maka tidak ada alasan lagi untuk tidak berbicara kembali.
"Jika Amerika Serikat melepaskan obsesi absurd untuk denuklirisasi kami dan menerima kenyataan, serta menginginkan koeksistensi damai yang sejati, tidak ada alasan bagi kami untuk tidak duduk bersama Amerika Serikat," ujar Kim dalam pidatonya.
Selain itu, Kim juga menyebut bahwa ia pernah bertemu tiga kali dengan mantan Presiden AS, Donald Trump. "Secara pribadi, saya masih memiliki kenangan indah tentang Presiden Trump," katanya.
Pernyataan Kim datang setelah Trump dan pemimpin Korea Selatan, Lee Jae-myung, menyatakan siap bertemu dengan pemimpin Korea Utara dalam sebuah pertemuan di Gedung Putih bulan lalu. Saat itu, Trump mengungkapkan harapan untuk bertemu kembali dengan Kim Jong Un.
Pengayaan Uranium dan Ancaman Nuklir
Sementara itu, terkait dengan program pengayaan uranium yang dilakukan oleh Korea Utara, negara tersebut diduga sudah memiliki stok sebanyak 2000 kilogram uranium. Stok ini digunakan sebagai upaya untuk mendukung ambisi Korea Utara memperluas kemampuan senjata nuklirnya.
Menteri Unifikasi Chung Dong-young mengatakan dalam konferensi pers bahwa Korea Utara sedang mengumpulkan bahan nuklir. "Sangat mendesak untuk menghentikannya. Bahkan pada saat ini, sentrifus uranium di empat wilayah di Korea Utara sedang beroperasi untuk mengumpulkan bahan nuklir," kata Chung.
Ia menyarankan agar kerja sama antara Korea Utara dan AS segera dimulai kembali. Pembicaraan antara kedua negara dapat menjadi terobosan penting untuk melanjutkan upaya denuklirisasi yang selama ini terhenti.
Risiko bagi Korea Selatan Jika Mengembangkan Senjata Nuklir
Di sisi lain, Korea Selatan berada dalam risiko serius jika memutuskan untuk mengembangkan senjata nuklir guna melawan ancaman dari Korea Utara. Dr. Vipin Narang, mantan penjabat asisten menteri pertahanan AS untuk kebijakan luar angkasa, menyatakan bahwa Seoul akan menghadapi periode kerentanan yang berbahaya sebelum menyelesaikan program nuklir dalam negeri.
Menurut Narang, senjata nuklir AS memberikan jaminan keamanan terkuat bagi Korea Selatan. Ia juga menekankan bahwa Seoul memiliki peran terstruktur dalam perencanaan pencegahan di bawah Kelompok Konsultatif Nuklir (NCG) gabungan sekutu.
"Saya yakin Presiden Lee juga memiliki pandangan yang sama bahwa senjata nuklir dalam negeri Korea Selatan tidak sesuai dengan kepentingan keamanan [ROK]. AS juga memiliki pandangan yang sama," ujarnya.
Selain risiko militer, Narang mengingatkan bahwa Korea Selatan bisa menghadapi sanksi ekonomi yang berat jika melanggar kewajibannya berdasarkan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir. Hal ini dapat merugikan industri-industri besar seperti semikonduktor dan otomotif, termasuk merek ternama seperti Samsung, Kia, Hyundai, dan LG.
Ia juga memperingatkan bahwa keberadaan senjata nuklir di Korea Selatan dapat merusak rezim nonproliferasi global, memicu pengembangan nuklir di negara-negara lain seperti Jepang atau Arab Saudi.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!