
Penurunan Ekspor Minyak Sawit ke India: Tantangan dan Peluang
Ekspor minyak sawit Indonesia ke India hingga Juni 2025 mengalami penurunan signifikan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), volume ekspor hanya mencapai 573 ribu ton, turun sebesar 27% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yaitu 783 ribu ton. Perubahan ini menunjukkan adanya pergeseran dalam dinamika perdagangan antara dua negara besar tersebut.
Sebagai ahli ekonomi senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Mohamad Fadhil Hasan menyampaikan bahwa penurunan ekspor ini menjadi isyarat penting bagi Indonesia untuk memperkuat strategi hubungan dagang dengan India. Menurutnya, kerja sama harus diperluas melalui berbagai mekanisme seperti Free Trade Agreement (FTA) atau Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), yang telah dilakukan dengan negara-negara lain.
Selain itu, ia menekankan pentingnya melangkah lebih jauh dari sekadar perdagangan biasa. Kerja sama di bidang riset dan pengembangan teknologi juga perlu ditingkatkan agar dapat menciptakan nilai tambah yang lebih besar.
Faktor Penyebab Penurunan Ekspor
Salah satu faktor utama yang memengaruhi penurunan impor minyak sawit oleh India adalah sensitivitas pasar terhadap harga. Ketika harga minyak sawit naik mendekati atau setara dengan minyak nabati lain, India cenderung beralih ke minyak kedelai. Hal ini menunjukkan perlunya strategi harga yang lebih kompetitif dan stabil.
Selain itu, peningkatan program mandatory biofuel di Indonesia juga turut memengaruhi aliran ekspor. Saat ini, pemerintah menerapkan bauran B40, sehingga muncul kekhawatiran dari pelaku industri minyak nabati India tentang ketersediaan pasokan sawit untuk ekspor. Hal ini bisa menjadi tantangan tersendiri bagi eksportir Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah India sedang giat mendorong program nasional untuk meningkatkan produksi minyak nabati, termasuk sawit, dengan target swasembada dalam 20 tahun ke depan. Meskipun kebijakan ini berpotensi mengurangi impor, Indonesia masih memiliki peluang melalui ekspor bibit sawit. Jika India memperluas perkebunan sawit, maka bibitnya tetap berasal dari Indonesia.
Kebijakan Tarif Impor yang Tidak Konsisten
Isu lain yang perlu diperhatikan adalah ketidakstabilan kebijakan tarif impor di India. Kadang, tarif crude palm oil (CPO) dinaikkan, lalu diturunkan kembali, sehingga membuat eksportir sulit memprediksi volume penjualan. Untuk mengatasi hal ini, Fadhil menekankan pentingnya dialog kebijakan agar tarif lebih konsisten dan dapat diprediksi.
Selain itu, persepsi negatif terhadap minyak sawit juga menjadi kendala. Di India, minyak sawit lebih banyak digunakan oleh sektor hotel, restoran, dan katering, sementara kalangan menengah atas lebih memilih minyak nabati lain. Padahal, dari segi nutrisi, minyak sawit tidak kalah baik. Oleh karena itu, diperlukan edukasi publik yang konsisten untuk mengubah persepsi ini.
Tren Konsumen yang Semakin Peduli Keberlanjutan
Tren terbaru menunjukkan bahwa konsumen India semakin menuntut minyak sawit yang berkelanjutan. Beberapa perusahaan besar bahkan mulai mensyaratkan eksportir memiliki praktik ramah lingkungan di hulu maupun di hilir. Dulu, India hanya menginginkan produk yang murah, namun kini mereka juga peduli terhadap aspek keberlanjutan. Ini merupakan bagian dari tren global menuju net zero emission.
Meski beberapa negara seperti Brasil, Nigeria, hingga India mulai mengembangkan sektor sawit, Fadhil optimistis bahwa Indonesia tetap kompetitif. Hal ini didasari pada biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan negara-negara lain. Kuncinya bagi Indonesia adalah terus meningkatkan efisiensi produksi dan pemasaran.
Membangun Hubungan Dagang yang Lebih Luas
Fadhil menekankan bahwa hubungan dagang Indonesia-India ke depan harus melampaui sekadar perdagangan tradisional. Kerja sama perlu diperluas, mulai dari penelitian, kampanye publik, hingga investasi. Dengan demikian, pasar India tetap terbuka dan posisi Indonesia semakin kuat dalam persaingan global.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!