
Tantangan Industri Pulp dan Kertas Nasional
Industri pulp dan kertas di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang memengaruhi daya saingnya. Meskipun memiliki basis produksi yang kuat dari hutan tanaman industri (HTI) serat pendek, sejumlah masalah mendasar masih menghambat perkembangannya.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M Rizal Taufikurahman, menjelaskan bahwa terdapat kesenjangan dalam ketersediaan serat panjang serta ketergantungan pada bahan penolong impor seperti garam industri dan bahan kimia bleaching. Hal ini membuat struktur biaya produksi sangat rentan terhadap perubahan kurs dan fluktuasi harga global.
“Dampaknya, daya saing biaya kita lebih rendah dibanding produsen besar seperti Brasil atau Skandinavia yang memiliki sumber daya alam yang lebih unggul,” ujar Rizal.
Selain itu, harga energi, khususnya gas, berada di atas standar global, sementara subsektor pulp dan kertas tidak termasuk dalam program harga gas bumi tertentu. Hal ini menyebabkan biaya operasional meningkat, margin keuntungan menurun, dan kemampuan bersaing dengan produk impor maupun ekspor melemah.
Upaya Diversifikasi Bahan Baku
Meski diversifikasi bahan baku sudah dilakukan melalui HTI, daur ulang kertas, dan eksplorasi bahan non-kayu, kontribusi dari upaya tersebut masih terbatas. HTI serat pendek melimpah, tetapi tidak bisa sepenuhnya menggantikan kebutuhan serat panjang.
Upaya daur ulang kertas juga menghadapi kendala infrastruktur pengumpulan serta regulasi impor daur ulang yang belum konsisten. Sementara itu, bahan non-kayu belum layak digunakan untuk skala industri.
“Dengan beban struktural seperti ini, industri kertas dalam negeri menghadapi paradoks: punya kapasitas besar, tetapi daya saing biaya terkikis oleh energi mahal, logistik yang kurang efisien, dan kebijakan bahan baku yang setengah hati,” jelas Rizal.
Langkah yang Perlu Dilakukan
Untuk mengatasi tantangan ini, Rizal menilai diperlukan dukungan kebijakan yang mendesak agar industri tidak tersandera oleh gangguan input. Ia menekankan pentingnya realistis dalam kebijakan garam industri agar tidak menutup impor sebelum pasokan domestik siap.
Selain itu, gas untuk industri energi-intensif seperti pulp dan kertas harus mendapat skema alokasi khusus atau insentif efisiensi energi. Di sisi lain, pemerintah juga perlu mendorong investasi pada serat alternatif non-kayu, mempercepat penerapan extended producer responsibility (EPR) untuk memperluas daur ulang kertas, serta menjaga konsistensi regulasi perdagangan baik bea masuk maupun SNI agar tidak menambah beban kepatuhan produsen domestik.
Kesimpulan
Menurut Rizal, persoalan daya saing industri pulp dan kertas bukan hanya soal teknologi, tetapi juga terkait penguasaan pasokan energi, bahan baku, dan akses kebijakan. Tanpa koreksi cepat di titik-titik kritis, industri bisa terus menjadi penonton di pasar sendiri. Dengan langkah-langkah strategis, diharapkan industri pulp dan kertas nasional dapat meningkatkan daya saing dan bertahan dalam persaingan global.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!