
Perubahan Ekosistem dan Konflik Agraria di Sumatra
Perubahan besar dalam penggunaan hutan di berbagai wilayah Sumatra, khususnya di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, dan Provinsi Lampung, telah menjadi perhatian serius. Dalam dua dekade terakhir, alih fungsi hutan yang dilakukan dengan alasan investasi dan pembangunan telah mengurangi ruang hidup masyarakat. Ratusan ribu hektare kawasan hutan berubah menjadi perkebunan musiman atau ditebang untuk kebutuhan industri, yang berdampak pada kerusakan ekosistem dan konflik agraria.
Acara diskusi publik bertajuk “Menyelamatkan Mentawai dari Keserakahan” diselenggarakan oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) Simpul Lampung bersama organisasi mahasiswa Universitas Lampung. Acara ini membahas isu-isu penting terkait perubahan penggunaan hutan dan dampaknya terhadap masyarakat adat serta lingkungan.
Diskusi dihadiri oleh sejumlah narasumber, termasuk Staf Divisi Sipil dan Politik YLBHI–LBH Bandar Lampung Arif Ridho Tawakal, Staf Kampanye dan Jaringan Walhi Lampung Annisa Despitasari, Jurnalis Tempo Fachri Hamzah, serta Kepala Dinas Kehutanan Lampung Yanyan Ruchyansyah. Acara dimulai dengan pemutaran liputan investigasi kolaborasi Depati Project yang dipublikasikan oleh enam media nasional dan lokal.
Laporan tersebut menunjukkan ancaman hilangnya lebih dari 21 ribu hektare hutan di Pulau Sipora akibat izin pengusahaan hutan. Pulau kecil ini dihuni oleh masyarakat adat yang sangat bergantung pada hutan. Kerusakan lingkungan yang terus-menerus menyebabkan masyarakat menghadapi krisis air saat musim kemarau dan banjir ketika musim hujan.
Annisa Despitasari menyebut bahwa situasi serupa juga terjadi di Lampung. Dari tahun 2001 hingga 2023, Lampung kehilangan sekitar 303 ribu hektare tutupan pohon yang menghasilkan emisi karbon sebesar 161 juta ton CO₂e. Alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit dan tebu menjadi penyebab utama. Penggundulan hutan memiliki dampak serius, mulai dari hilangnya habitat flora-fauna, percepatan perubahan iklim, hingga terganggunya keseimbangan ekosistem. Masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada hutan sangat terdampak.
Arif Ridho Tawakal menegaskan bahwa deforestasi sering berujung pada konflik lahan. Hampir di seluruh kabupaten/kota di Lampung terjadi konflik agraria. Dalam perebutan ruang hidup, masyarakat selalu menjadi entitas paling tertindas, sementara korporasi dan mafia tanah menjadi penghisap lahan rakyat. Konflik lahan banyak terjadi secara struktural, bahkan pelaku mafia tanah justru pejabat dari tingkat desa hingga petugas BPN. Masyarakat sering tidak tahu lahan yang mereka tempati sudah dilepas dari kawasan hutan. Tiba-tiba tanah diklaim perusahaan melalui HGU atau sertifikat, dan saat warga menuntut haknya justru berujung kriminalisasi.
LBH Bandar Lampung mendorong evaluasi dan penghitungan ulang seluruh HGU di Lampung untuk menekan konflik agraria. Sementara itu, Yanyan Ruchyansyah, Kepala Dinas Kehutanan Lampung, mengakui kondisi hutan di provinsi ini memprihatinkan. Kerusakan hutan di Lampung bisa lebih dari 37 persen. Saat ini, 80 persen kawasan hutan sudah ada aktivitas manusia, hanya 20 persen yang masih murni. Sebagai langkah mitigasi, Yanyan menekankan pentingnya perhutanan sosial agar masyarakat menjadi subjek pelestarian hutan. Kami berkomitmen memberikan akses kelola kawasan hutan kepada masyarakat melalui program perhutanan sosial. Meski belum optimal, proses ini terus berjalan.
Namun, Yanyan menyebut pihaknya memiliki keterbatasan kewenangan terkait izin korporasi. Sebagian besar izin dikeluarkan pemerintah pusat. Meski begitu, Dinas Kehutanan berupaya memfasilitasi musyawarah antara masyarakat dan pihak perusahaan.
Dari Sumatra Barat, Jurnalis Tempo Fachri Hamzah melihat kesamaan pola eksploitasi hutan di Mentawai dan Lampung. Sejumlah besar kawasan hutan diberikan izin kepada korporasi besar. Alih-alih menjaga, perusahaan justru menebang besar-besaran tanpa penghijauan kembali. Dampaknya ekosistem rusak, masyarakat kehilangan sumber penghidupan, dan kriminalisasi terjadi saat mereka menolak.
Para narasumber sepakat bahwa penyelamatan hutan tidak bisa hanya berpijak pada kepentingan ekonomi dan investasi. Masyarakat harus ditempatkan sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan, sebagaimana amanat konstitusi bahwa kekayaan alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!