
Tantangan Industri Batu Bara di Tengah Kenaikan Biaya Produksi
Sejumlah perusahaan batu bara di Indonesia tengah menghadapi tantangan berat akibat kenaikan biaya produksi yang signifikan. Hal ini terjadi di tengah pelemahan harga batu bara global, yang semakin memperparah kondisi industri ini. Salah satu faktor utama yang menyebabkan peningkatan biaya adalah penggunaan biodisel 40% atau B40 sebagai bahan bakar.
Direktur Komersial PT Bukit Asam Tbk (PTBA), Verisca Hutanto, menjelaskan bahwa B40 menjadi beban operasional yang berat bagi perusahaan. Harga B40 lebih mahal dibandingkan bahan bakar konvensional, sehingga memengaruhi anggaran operasional perusahaan. Menurutnya, tanpa subsidi, biaya produksi meningkat secara signifikan.
"Karena tidak ada lagi subsidi untuk B40, maka kami juga menghadapi peningkatan biaya yang signifikan untuk lapangan," ujar Verisca dalam forum CT Asia 2025 di Intercontinental Hotel, Jimbaran, Bali.
Selain itu, kenaikan biaya logistik juga turut berkontribusi pada peningkatan biaya produksi. PTBA harus mengangkut batu bara dari tambang ke pelabuhan dengan jarak yang cukup jauh, sehingga biaya transportasi meningkat. Hal ini membuat biaya produksi secara keseluruhan naik drastis.
Penggunaan B40 Berdampak Besar pada Biaya Operasional
Presiden Direktur PT Kideco Jaya Agung, Kurnia Ariawan, juga mengungkapkan dampak negatif penggunaan B40 terhadap biaya operasional perusahaan. Menurutnya, penggunaan B40 menyebabkan kenaikan biaya bahan bakar sebesar 20%. Dengan produksi batu bara sekitar 30 juta ton per tahun, Kideco membutuhkan sekitar 350 juta liter B40 setiap tahun.
Kurnia mencontohkan, disparitas harga antara B40 dan bahan bakar konvensional bisa mencapai Rp3.000 per liter. Dengan penggunaan sebanyak 350 juta liter, perusahaan harus merogoh kocek tambahan hingga Rp1,05 triliun per tahun.
"Bahan bakarnya sekitar 350 juta liter dikali Rp2.000 atau Rp3.000 [per liter]. Jadi, Anda mendapatkan angkanya, angka yang sangat besar," kata Kurnia.
Harga Batu Bara Terus Merosot
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Priyandi, mengungkapkan bahwa harga batu bara global terus merosot akibat tekanan konflik geopolitik dan ketidakpastian pasar energi dunia. Saat ini, harga batu bara bergerak jauh di bawah level 2024, yang memicu penyesuaian strategi produksi dan investasi oleh pelaku usaha.
Menurut Priyandi, harga batu bara sempat anjlok di bawah US$100 per ton pada 2025. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata harga pada 2024 yang bisa mencapai US$130 per ton. Bahkan, harga batu bara sempat menembus level di bawah US$100 per ton pada tahun ini.
"Harga yang semula di kisaran US$130 per ton pada 2025 kini anjlok ke US$100 per ton, bahkan sempat menembus level di bawah US$100 per ton pada tahun ini," ujar Priyandi.
Dampak Penurunan Harga terhadap Industri
Penurunan harga batu bara global berdampak langsung terhadap rencana produksi dan investasi pelaku industri. Priyandi menilai, saat ini menjadi ujian besar bagi keberlanjutan industri pertambangan Indonesia.
Pelaku usaha berharap kolaborasi lintas sektor dan kebijakan pemerintah yang adaptif mampu menstabilkan pasar, menjaga investasi, serta mendorong daya saing di tengah dinamika geopolitik internasional. Dengan demikian, industri batu bara dapat tetap bertahan dan berkembang meski menghadapi berbagai tantangan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!