
Ancaman Pertambangan Nikel di Raja Ampat
Laporan terbaru yang dikeluarkan oleh organisasi Auriga Nusantara menunjukkan adanya ancaman serius terhadap kawasan Raja Ampat, yang berstatus sebagai Geopark Global UNESCO. Investigasi lapangan dan dokumentasi foto yang dilakukan oleh Auriga mengungkap bahwa lebih dari 22.000 hektare konsesi tambang nikel terus menggerus ekosistem Raja Ampat, yang juga membahayakan 2.470 hektare terumbu karang, 7.200 hektare tutupan hutan, serta mata pencaharian lebih dari 64.000 masyarakat adat dan lokal.
Raja Ampat, yang dikenal sebagai "Permata Mahkota Keanekaragaman Hayati Laut", merupakan bagian dari Segitiga Karang. Wilayah ini menjadi rumah bagi 75% spesies karang air dangkal dunia, lebih dari 1.600 spesies ikan, serta populasi pari manta karang terbesar di dunia. Bagi masyarakat Papua dan komunitas lokal, laut dan hutan Raja Ampat bukan hanya sumber pangan, tetapi juga bagian dari identitas budaya serta penopang ekonomi.
Potensi Kerusakan Masif
Auriga Nusantara menyoroti sejumlah temuan utama terkait aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat. Salah satunya adalah potensi kerusakan masif yang dapat terjadi. Terdapat konsesi pertambangan nikel seluas lebih dari 22.000 hektare di Raja Ampat. Dari total 7.761 hektare hutan alam di dalam pulau kecil berizin tambang nikel, 7.200 hektare atau 92% berada dalam izin tambang nikel. Di radius 12 mil laut terdapat 6.700 hektare terumbu karang, dan 36% (2.400 hektare) berada di dalam radius 5 km atau berisiko tinggi terdampak pertambangan nikel.
Selain itu, area yang ditambang di Raja Ampat pada periode 2020-2024 meluas tiga kali lebih cepat dibandingkan lima tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan peningkatan perluasan area tambang yang sangat cepat.
Ancaman terhadap Biota Laut
Ancaman terhadap biota laut pun semakin nyata. Polusi suara dan sedimen nikel dapat berdampak terhadap biota laut seperti Mobula birostris, yang merupakan spesies pari manta terbesar di dunia, serta lima spesies penyu yang dilindungi, termasuk Penyu Sisik yang terancam punah. Selain itu, biota laut lainnya juga terancam oleh aktivitas pertambangan.
Marjinalisasi dan Penghancuran Mata Pencaharian
Lebih dari 64.000 penduduk setempat tidak dilibatkan secara penuh dalam penerbitan izin tambang nikel, meskipun mereka menanggung dampak lingkungan yang terjadi. Nelayan tradisional menyatakan bahwa kebisingan dan getaran dari pertambangan telah mengusir ikan dan lumba-lumba, sehingga menghancurkan mata pencaharian mereka.
Ketidakjelasan Pencabutan Izin
Meski pemerintah Indonesia mengumumkan pencabutan empat izin tambang nikel, hingga saat ini belum ada bukti otentik berupa surat keputusan yang dipublikasi terkait pencabutan izin tersebut. Juga tidak jelas bagaimana dan siapa yang bertanggung jawab terhadap pemulihan lingkungan yang telanjur rusak.
Celah Hukum dan Ancaman terhadap Pariwisata
Adanya celah hukum dalam riwayat pencabutan izin ekstraksi di Indonesia juga menjadi perhatian. Banyak kasus pencabutan izin sebelumnya, pemilik izin sering menggugat pencabutan yang dilakukan pemerintah, dan pengadilan banyak memenangkan gugatan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah diminta untuk menetapkan area-area yang tidak boleh ditambang (No-Go Zones) di Indonesia.
Selain itu, praktik pertambangan nikel ini juga mengancam pariwisata yang menjadi andalan ekonomi Raja Ampat. Pada 2023, Raja Ampat berhasil menarik 19.000 wisatawan. Namun, jika aktivitas pertambangan terus berlanjut, hal ini bisa mengancam status geopark dan industri pariwisata yang menjadi sumber pendapatan utama masyarakat setempat.
Evaluasi Tambang Nikel di Raja Ampat
Pada Juni 2025, pemerintah sempat mengevaluasi tambang di Pulau Gag dan empat lokasi lain. Saat itu, pemerintah mengumumkan pencabutan empat izin usaha pertambangan (IUP), yaitu milik PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham. Hanya PT Gag Nikel yang diperbolehkan beroperasi dengan pengawasan ketat.
Namun, laporan Auriga menyebut hingga kini belum ada bukti pencabutan izin benar-benar berlaku atau adanya rencana pemulihan lingkungan. Bahkan, PT Gag Nikel kembali beroperasi pada 3 September 2025.
Kesimpulan
Investigasi ini menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat menciptakan efek kerusakan berantai, mulai dari deforestasi, sedimen tambang nikel yang merusak terumbu karang, hingga indikasi berpindahnya biota laut yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat lokal. Pemerintah diharapkan segera mencabut seluruh izin tambang nikel di Raja Ampat, termasuk PT Gag Nikel di Pulau Gag, untuk menjaga keutuhan ekosistem dan mendukung keberlanjutan ekonomi pariwisata.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!