Transaksi Digital Terancam oleh UU ITE Baru, Bagaimana Solusinya?

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Peraturan Baru UU ITE dan Dampaknya pada Transaksi Digital

Pemerintah Indonesia telah menetapkan revisi kedua Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang berlaku sejak 2024. Salah satu poin penting dalam revisi tersebut adalah pasal 17 ayat 2A, yang mewajibkan transaksi elektronik dengan risiko tinggi menggunakan tanda tangan elektronik yang dilengkapi sertifikat. Peneliti Senior Tenggara Strategics, Galby Rifqi Samhudi, menilai bahwa aturan ini merupakan upaya pemerintah untuk memperkuat mekanisme sertifikat elektronik dalam aktivitas transaksi digital. Namun, ia mengingatkan bahwa definisi risiko tinggi dalam beleid tersebut perlu diperjelas.

"Transaksi elektronik seperti apa yang akan dikenakan? Sertifikat elektronik, jadi yang dikenakan adalah transaksi elektronik yang memiliki risiko tinggi. Apa yang dimaksud dengan risiko tinggi?" tanya Galby. Ia menegaskan bahwa penggunaan sertifikat elektronik bisa menjadi lapisan tambahan yang berpotensi menghambat inovasi dan membuat proses transaksi menjadi tidak praktis.

Potensi Gangguan dalam Transaksi Sehari-hari

Penerapan klausul risiko tinggi berpotensi menimbulkan masalah di lapangan. Contohnya, transaksi sederhana seperti membeli bakso menggunakan QRIS bisa masuk kategori tidak tatap muka dan dianggap berisiko tinggi. Galby menyampaikan kekhawatiran bahwa hal ini dapat mengganggu kebiasaan masyarakat dalam melakukan transaksi sehari-hari.

"Kalau misalnya kita lakukan secara rutin, sehari mungkin bisa 10 transaksi dan berbagai macamnya. Tapi, kok ini dijadikan transaksi risiko tinggi? Bakal ada implikasinya nggak nih? Nah itu yang kami coba dalami di dalam penelitian ini," ujar Galby.

Menurutnya, mekanisme pengamanan transaksi di Indonesia sudah didukung oleh teknologi seperti PIN, OTP, hingga biometrik. Kewajiban penggunaan tanda tangan elektronik bersertifikat justru dikhawatirkan menambah lapisan baru yang berpotensi menghambat inovasi dan membuat proses transaksi menjadi tidak praktis.

Transaksi Digital Perlu Diatur di Tingkat Teknis

Mekanisme pengamanan digital yang berlaku saat ini memiliki dasar hukum di tingkat undang-undang. Namun, menurut Galby, pengaturan transaksi digital seharusnya diletakkan pada regulasi teknis. "Sepatutnya nih, yang kami lihat sebagai peneliti kayaknya harusnya nggak ditaruh di level Undang-Undang, harusnya ada di bawahnya lagi dan itu ada berada di peraturan yang lebih teknis," katanya.

Selain itu, sektor swasta juga tidak tinggal diam dalam menjaga keamanan ekosistem digital. Salah satunya lewat inisiatif pembentukan Indonesia Anti-Scam Center (IASJ) untuk melindungi pengguna dari risiko penipuan. Galby menekankan bahwa persoalan keamanan digital tidak hanya terkait regulasi, tetapi juga bergantung pada literasi pengguna. Ia menyinggung kasus ketika masyarakat masih kerap membocorkan data sensitif, seperti kode OTP, yang berujung pada kerugian finansial.

Belajar dari Praktik Negara Lain

Galby menyebut beberapa contoh pengaturan di negara lain. Di Inggris, sistem keamanan yang terlalu ketat justru membuat transaksi sah terblokir karena dianggap anomali. Sementara itu, Uni Eropa mengklasifikasikan tingkat risiko transaksi menjadi tiga kategori tanda tangan elektronik, mulai dari yang sederhana hingga paling ketat. Di Singapura, regulasi dibuat dengan mendefinisikan secara rinci aktivitas yang dikategorikan berisiko tinggi. Hal itu dinilai lebih konkret dibanding hanya mendasarkan risiko pada ketiadaan tatap muka.

"Jadi ada pengejawantahan di situ, gak bisa bilang risiko tinggi yang gak tatap muka," ujar Galby.

Rekomendasi Penelitian Tenggara Strategics

Dalam penelitian yang dilakukan dengan metode kualitatif melalui wawancara dan diskusi bersama para pemangku kepentingan, Tenggara Strategics menyusun sejumlah rekomendasi. Pertama, pemerintah diminta memperjelas definisi transaksi berisiko tinggi dalam peraturan turunan, misalnya di tingkat Peraturan Pemerintah. Kedua, regulator di sektor keuangan digital diharapkan memberi ruang inovasi kepada pelaku usaha, alih-alih membebani mereka dengan aturan yang rigid.

Selain itu, pihaknya menyoroti perlunya percepatan pembentukan otoritas perlindungan data pribadi sesuai amanat UU PDP 2022 yang hingga kini belum juga tuntas. Rekomendasi terakhir adalah pembagian kewenangan yang jelas antar lembaga. Galby menekankan otoritas umum sebaiknya mengurus hal-hal bersifat general, sementara lembaga sektoral dapat berfokus pada aturan teknis di sektor masing-masing.