
Perjalanan Karier yang Berubah di Usia 30-an
Di usia 30-an, banyak orang menganggap ini sebagai masa paling produktif untuk membangun karier. Namun, bagi sebagian orang, justru di usia ini mereka harus membuat keputusan besar—termasuk berpindah jalur dari apa yang sudah ditempuh selama bertahun-tahun. Itulah yang terjadi dalam hidupku.
Kadang hidup membawa kita ke jalur yang tak pernah terduga. Aku lulusan Biologi, tetapi justru merintis karier di dunia perbankan. Awalnya banyak orang heran, bagaimana latar belakang biologi bisa menyambung dengan dunia keuangan? Tapi aku menyadari bahwa disiplin Biologi memberiku kemampuan esensial yang ternyata sangat sesuai dengan kebutuhan perbankan. Aku menjalaninya dengan serius dan bertahun-tahun bekerja, terbiasa dengan ritme cepat, target yang menantang, dan rasa bangga karena punya pekerjaan mapan. Walau jauh dari bidang kuliah, aku merasa punya pijakan yang cukup kuat.
Titik Balik: Keluarga Jadi Prioritas
Semua terasa baik-baik saja sampai hidup kembali menuntunku membuat pilihan tak terduga. Setelah menikah dan memiliki anak, aku merasa hidup tidak lagi hanya tentang karier dan pencapaian pribadi. Ada kebutuhan lebih dalam: ingin tumbuh kembang anak bersama ayahnya, ingin benar-benar hadir untuk keluarga.
Saat itu aku menyadari, mempertahankan karier di kota lama berarti terus berjauhan dengan orang terpenting dalam hidup kami. Keputusan besar pun diambil: pindah ke kota baru, meninggalkan pekerjaan yang sudah memberiku kenyamanan. Keputusan ini tidak gegabah. Secara finansial, kami berkomitmen untuk siap menghadapi masa tanpa gaji. Kami beruntung sudah menyiapkan dana darurat yang bisa menopang biaya hidup selama hampir delapan bulan. Ini adalah 'bantal pendaratan' yang sangat krusial, memberiku waktu untuk mencari jalan baru tanpa tekanan finansial yang mencekik.
Pahitnya Masa Transisi
Hari-hari awal ternyata jauh dari kata mudah. Rasanya seperti kehilangan pegangan. Aku mendadak tidak punya pekerjaan, tidak punya penghasilan sendiri, dan tentu saja belum punya kenalan. Post-power syndrome benar-benar terasa. Dulu aku biasa memimpin rapat, membuat keputusan, dan memiliki asisten yang siap sedia. Kini aku harus bergulat dengan rasa kehilangan arah sekaligus merawat anak yang baru berusia setahun, tanpa ada yang membantu.
Dari yang biasanya disibukkan agenda rapat dan target, kini hanya ditemani oleh urusan rumah dan tuntutan merawat bayi yang serasa tiada akhir. Ironinya, di tengah kekosongan itu, bos dari kantor lama justru menawarkan jabatan yang sejak dulu kuimpikan. Rasanya gemes sekali! Kesempatan yang bertahun-tahun kunanti, justru datang ketika aku sudah melepas semuanya. Andai tawaran itu hadir lebih cepat, entahlah apa yang akan terjadi. Namun, aku harus menolak. Keputusan pindah ini kuambil demi keluarga, dan aku memilih bertahan pada alasan itu.
Passion yang Terbangkitkan Kembali
Perlahan, aku mulai mencari ruang baru. Media sosial menjadi pintu kecil yang kubuka. Dari Facebook, aku menjalin pertemanan baru. Hingga aku bergabung dengan suatu komunitas dan ikut berbagai kegiatan bakti sosial. Awalnya canggung, tetapi perlahan aku merasa punya ruang lagi untuk bersosialisasi. Lingkaran pertemanan ini menjadi jembatan penting yang membawaku pada hal-hal tak terduga berikutnya.
Tip dariku, carilah komunitas yang punya minat sama—entah itu hobi, isu sosial, atau profesi. Tak kusangka, dari lingkaran itu, minat menulisku yang lama hilang, terbangkitkan kembali. Sejak kuliah aku hampir tak pernah menulis, tetapi kini kata-kata mulai mengalir lagi. Di tengah kesibukan mengurus rumah, aku harus 'mencuri' waktu. Kujadwalkan 30 menit setiap hari, setelah anak-anak tidur, hanya untuk menuangkan ide. Keterbatasan waktu ini justru memaksaku untuk menulis secara fokus dan efisien.
Awalnya ragu, takut tulisan terasa kaku, tetapi perlahan aku menemukan ritme. Hingga akhirnya lahirlah sebuah buku. Aku seperti menemukan kembali diriku dengan semangat baru. Kebahagiaan makin lengkap ketika anak bungsuku juga menerbitkan buku pertamanya pada waktu yang bersamaan. Rasanya seperti mendapat hadiah ganda—aku dan anak sama-sama menemukan suara kami lewat tulisan.
Manis yang Menyempurnakan
Perjalanan menulis itu kemudian membuka pintu-pintu lain. Aku mendapat tawaran menjadi editor tetap dari sebuah publishing. Tawaran ini tentu tidak datang dengan mudah, apalagi latar belakangku bukan dari sastra atau bahasa. Setelah menerbitkan buku, aku sadar kapasitas bahasa dan editing-ku masih harus diasah. Untuk mengejar ketertinggalan, aku serius mendalami bahasa Indonesia lewat akun-akun kredibel di media sosial, dan bahkan rela mengikuti kursus online tentang editor profesional untuk meningkatkan kapasitas. Ilmu dari dunia perbankan membantuku disiplin dalam belajar dan menargetkan peningkatan skill.
Dari yang semula merasa kehilangan status, kini justru menemukan peran baru yang lebih sesuai hati. Tak lagi sekadar mengejar target finansial, tetapi benar-benar bekerja dengan passion.
Tiga Pengalaman Berharga
Kini, aku menatap perjalanan ini dengan rasa syukur. Pindah karier di usia 30-an memang penuh rasa campur aduk—ada pahitnya kehilangan penghasilan dan kenyamanan, ada gemasnya menolak kesempatan yang dulu kuimpikan, tetapi ada manisnya menemukan jalan baru yang lebih autentik dan sesuai passion yang sempat hilang.
Pelajaran yang bisa aku bagi dari pengalaman ini:
- Prioritas jelas membawa berkah: Jangan takut menolak kesempatan karier demi nilai yang Anda pegang (keluarga). Prioritas yang jelas akan membawa pada pintu rezeki yang lebih autentik.
- Siapkan 'bantal pendaratan': Pastikan Anda punya dana darurat atau keterampilan cadangan yang bisa menopang hidup. Ini krusial untuk melewati masa transisi tanpa stres finansial berlebihan.
- Jejaring adalah awal kebangkitan: Gunakan waktu luang untuk bersosialisasi dan bergabung dengan komunitas. Seringkali, peluang dan keahlian baru justru datang dari jaringan pertemanan yang tidak terduga, bukan dari pekerjaan formal.
Kadang, jalan hidup memang berputar aneh. Keputusan yang awalnya terasa berat justru membuka pintu-pintu yang tak terpikirkan. Kita merasa kehilangan, ternyata justru diarahkan untuk kembali ke diri sendiri. Bagiku, langkah berani untuk mendahulukan keluarga ternyata membawaku pulang pada dunia yang benar-benar kucintai: menulis!
Saat ini, aku ingin terus berbagi manfaat, berbagi ide, dan pengalaman melalui tulisan. Menjadi seorang Kompasioner—sebutan bagi para penulis di ilmu.online—memberiku ruang untuk menyalurkan hobi menulis, sekaligus terhubung dengan lebih banyak orang. Dari sini, aku percaya perjalanan karierku masih terus berkembang, dengan cara yang lebih bermakna.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!