
Komitmen Global untuk Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca
Upaya global dalam memperlambat pemanasan bumi kembali mendapatkan momentum baru setelah sebanyak 120 negara, termasuk Uni Eropa, mengumumkan target pengurangan emisi gas rumah kaca di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Rabu (23/9) lalu. Komitmen ini dilakukan hanya sehari setelah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menyampaikan pernyataan yang menimbulkan kontroversi dengan menyebut krisis iklim sebagai “tipuan terbesar yang pernah dilakukan terhadap dunia”.
Salah satu sorotan utama dari komitmen ini datang dari Tiongkok, yang merupakan penghasil emisi karbon terbesar di dunia. Presiden Xi Jinping menyatakan bahwa negaranya akan mengurangi emisi sebesar 7-10% dari level puncaknya pada tahun 2035. Selain itu, kapasitas energi angin dan surya akan ditingkatkan hingga lebih dari enam kali lipat dibandingkan 2020.
Langkah ini memperkuat posisi Tiongkok sebagai kekuatan utama dalam energi bersih, meskipun secara bersamaan tetap menjadi kontributor terbesar emisi global. Di sisi lain, Indonesia juga menunjukkan komitmennya dengan menyambut baik pembentukan Tropical Forest Financing Facility dan siap bekerja sama dengan Brasil dalam inisiatif pendanaan hutan tropis.
Uni Eropa juga memberikan respons terkait isu lingkungan dengan menunda penerapan UU Antideforestasi hingga Desember 2026. Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, yang memimpin pertemuan tersebut menekankan pentingnya era baru dalam energi dan mengimbau negara-negara untuk bergerak lebih cepat. Ia menegaskan bahwa target global untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata bumi hingga 1,5°C semakin terancam gagal.
“Rencana baru kalian dapat membawa kita selangkah lebih maju. Kita berada di awal era energi baru, kita harus memanfaatkan momen ini,” ujar Guterres kepada para pemimpin dunia.
Meski begitu, hingga saat ini, hanya sedikit negara yang telah menyerahkan rencana pembaruan pengurangan emisi menjelang pembicaraan COP30 pada November. Konferensi ini bertujuan untuk memperkenalkan target baru demi mencegah gelombang panas, kekeringan, banjir, dan bencana lain yang semakin parah.
Saat ini, planet diperkirakan akan jauh melampaui batas pemanasan 1,5°C yang disepakati di Paris satu dekade lalu. Proyeksi kenaikan suhu bisa mencapai 3°C (5,4°F) di atas rata-rata pra-industri, yang dapat memicu konsekuensi bencana bagi banyak negara.
Upaya global yang masih terbatas ini semakin terancam oleh tindakan AS, yang merupakan penghasil emisi karbon historis terbesar. Pada Selasa (22/9), Trump menyampaikan pidato di PBB yang penuh dengan pernyataan menolak sains iklim dan mengkritik para pemimpin karena beralih ke energi bersih. Ia menyatakan bahwa negara-negara berada di ambang kehancuran karena agenda energi hijau dan menganggap sains iklim sebagai tipuan.
“Jika kalian tidak menjauh dari penipuan hijau ini, negara kalian akan gagal. Kalian butuh perbatasan kuat dan sumber energi tradisional jika ingin kembali berjaya,” kata Trump. Pernyataannya menuai kecaman luas dari aktivis lingkungan yang menegaskan bahwa dampak krisis iklim sudah terlihat jelas di seluruh dunia.
CEO Natural Resources Defense Council, Manish Bapna, menyatakan bahwa siapa pun yang melihat keluar jendela tahu perubahan iklim nyata dan sedang terjadi. Para pengamat menilai bahwa meskipun 120 negara telah mengumumkan target baru, upaya ini belum cukup untuk mencegah pemanasan global melampaui 1,5°C. Proyeksi saat ini menunjukkan suhu bumi bisa meningkat hingga 3°C dibanding era pra-industri, yang berpotensi menimbulkan bencana besar seperti gelombang panas, kekeringan, banjir, dan naiknya permukaan laut.
Negara-negara kecil dan kepulauan, seperti Kepulauan Marshall, menilai kondisi ini sebagai ancaman eksistensial. Perhatian kini tertuju pada konferensi iklim COP30 yang akan digelar di Belém, Brasil, pada November mendatang. Pertemuan tersebut diharapkan mampu menghasilkan rencana global yang kredibel untuk menutup kesenjangan target emisi. Namun, tantangan logistik di kota Amazon, termasuk keterbatasan akomodasi, dikhawatirkan mengurangi partisipasi delegasi.
Meski penuh tantangan, banyak pihak optimistis bahwa dunia masih dapat beralih ke energi bersih. Tahun lalu, investasi global untuk energi terbarukan seperti surya dan angin mencapai US$ 2 triliun, dua kali lipat dari total investasi untuk minyak, gas, dan batu bara. Hal ini menunjukkan potensi besar dalam transisi menuju sistem energi yang lebih ramah lingkungan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!