Peran Sistem Keuangan Negara dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif
Dalam sebuah diskusi mengenai konstitusi dan demokrasi Indonesia, seorang anggota MPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Labib, S.H.I., M.H., menyoroti pentingnya sistem keuangan negara sebagai alat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan sosial. Acara ini diadakan di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Rabu (24/9/2025), dengan tema “Sinergi Sistem Keuangan Negara dan Perekonomian Nasional bagi Peningkatan Kesejahteraan Sosial.”
Menurut Labib, sistem keuangan negara tidak hanya sekadar alat teknokratis, tetapi juga menjadi instrumen perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara nyata. Ia menekankan bahwa tujuan akhir dari sistem tersebut adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sistem keuangan negara terdiri dari empat instrumen utama, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), perpajakan, pembiayaan dan utang negara, serta transfer ke daerah seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Keempat instrumen ini harus bekerja sama agar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang inklusif dan merata.
Dalam hal belanja negara, Labib menekankan pentingnya menjaga daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sektor produktif seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan teknologi. Ia menambahkan bahwa belanja negara harus diarahkan untuk menjaga daya beli masyarakat dan menggerakkan sektor-sektor produktif, termasuk program perlindungan sosial bagi masyarakat rentan.
Terkait ekonomi digital, Labib menyambut positif tren pertumbuhan pesat di sektor ini. Ia mencatat kontribusi ekonomi digital terhadap PDB saat ini mencapai Rp1.900 triliun, dan berpotensi naik hingga Rp5.000 triliun pada 2030. Menurutnya, ekonomi digital adalah masa depan, terutama untuk generasi muda seperti Gen Z. Negara harus hadir melalui APBN untuk mendukung infrastruktur digital dan energi terbarukan.
Namun, ia juga menyoroti beberapa tantangan, seperti kebocoran anggaran, kesenjangan antarwilayah, serta ketergantungan pada komoditas strategis yang membuat ekonomi rentan terhadap fluktuasi global. Dalam hal optimalisasi penerimaan negara, Labib mendukung langkah tegas terhadap para penunggak pajak besar. Ia mengapresiasi terobosan pemerintah dalam menindak 200 wajib pajak yang menunggak hingga Rp60 triliun.
Strategi ke depan, menurut Labib, harus fokus pada perluasan sumber pendapatan negara, efisiensi belanja APBN, penguatan kinerja BUMN, dan penurunan ketergantungan terhadap utang luar negeri. Ia menekankan pentingnya transparansi, digitalisasi keuangan publik, dan partisipasi masyarakat dalam mengawasi kinerja fiskal negara.
Kritik terhadap Transfer Daerah
CEO, Founder, sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, S.IP., M.IP., menyoroti kebijakan transfer dana ke daerah. Menurutnya, pemotongan dana transfer pusat ke daerah bukan hanya menghambat pembangunan, tetapi juga lebih fatal karena mengganggu gaji tenaga honorer, pekerja paruh waktu, dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Pangi juga mengkritisi pendekatan perpajakan pemerintah. Ia menilai masyarakat kelas menengah dan bawah justru menjadi sasaran pajak, sementara potensi besar dari sektor tambang dan energi bocor hingga 80 persen. Ia menegaskan bahwa pajak digital, kaki lima, rumah tinggal semua dikejar, sementara tambang, batu bara, sawit dibiarkan.
Selain itu, Pangi menyoroti dominasi oligarki yang dinilai telah merusak representasi politik rakyat di parlemen. Menurutnya, banyak Undang-Undang saat ini tidak mencerminkan kehendak rakyat, melainkan titipan pemilik modal. Ia menyarankan agar Undang-Undang benar-benar mencerminkan kebutuhan rakyat, dengan beberapa langkah seperti pembatasan masa jabatan pejabat, pembuktian terbalik harta kekayaan, serta pengesahan UU Perampasan Aset.
Di akhir pernyataannya, Pangi menyerukan agar negara kembali kepada amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara serta dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ia menegaskan bahwa saat ini 78 persen pendapatan rakyat di bawah Rp700 ribu per bulan, namun segelintir orang menguasai kekayaan setara puluhan juta rakyat. Ini bukan sekadar data, ini luka bangsa.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!