
Perjuangan Seorang Guru di Sekolah Terpencil Aceh Barat
Iyusmidar Arif, seorang guru yang telah mengabdikan dirinya selama hampir enam tahun di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Paya Baro, Kecamatan Meurubo, Kabupaten Aceh Barat, kini menghadapi situasi yang sangat menantang. SDN Paya Baro berada di wilayah pedalaman dan merupakan desa terakhir di Kecamatan Meurubo. Sekolah ini kini terancam ditutup oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Barat karena kekurangan jumlah siswa.
Guru yang memulai kariernya sebagai honorer pada tahun 2019 ini menceritakan perjuangannya dalam mengajar. "Dulu kami hanya digaji sekitar Rp300.000 per bulan," ujarnya. Namun, kini ia sudah lulus PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja), sehingga mendapatkan penghasilan yang lebih stabil.
Mengajar di sekolah terpencil memberikan pengalaman unik bagi Iyusmidar. Ia menyebutkan semangat belajar anak-anak di Desa Paya Baro sangat tinggi meskipun jarak tempat tinggal mereka jauh dari perkotaan. Setiap pagi, Iyusmidar berangkat dari rumahnya pukul 07.00 WIB dan menempuh jarak sekitar 16 kilometer ke sekolah melewati jalan yang belum beraspal. "Perjuangan saya dan guru-guru lain, sejak pagi sudah keluar rumah, melewati hutan dengan kondisi jalan tidak bagus," katanya.
Apalagi saat hujan, jalan yang tidak beraspal membuat risiko jatuh meningkat. Kabar penutupan sekolah membuat Iyusmidar terkejut dan merasa sangat sedih. Ia dan rekan-rekannya merasa terpukul karena informasi tersebut datang tiba-tiba. Bahkan, siswanya menangis histeris setelah mendengar kabar sekolah mereka akan ditutup.
SDN Paya Baro kini memiliki 24 siswa dengan sebaran jumlah per kelas yang tidak sesuai standar minimal enam siswa seperti yang diatur dalam Permendikbud. Iyusmidar menilai wacana penutupan ini aneh, sebab sekolah selalu memiliki murid sejak awal. Ia menjelaskan bahwa SDN Paya Baro telah beroperasi dengan baik meski dalam keterbatasan dan telah ada sejak sebelum konflik Aceh.
Tahun ini, jumlah siswa kelas I meningkat menjadi delapan orang. Namun, pemerintah justru berencana menutup sekolah. "Ketika sudah ada perubahan, pemerintah bukan malah memperbaiki tapi ingin menutup," keluhnya. Iyusmidar menekankan bahwa pemerintah seharusnya melakukan evaluasi dan perbaikan sebelum mengambil keputusan untuk menutup sekolah.
Penutupan sekolah akan memberatkan anak-anak di Paya Baro. Jarak ke sekolah terdekat sekitar lima kilometer dengan kondisi jalan berbatu dan belum beraspal. "Mereka dari rumah ke sekolah saja jalan kaki, apalagi kalau harus keluar sejauh lima kilometer. Ini bisa meningkatkan angka putus sekolah," beber dia.
Orang tua siswa juga mengeluhkan kondisi ini. Salah satunya ketika anak-anak harus mengikuti Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) di sekolah lain lantaran SDN Paya Baro tak memiliki jaringan internet. "Ada orang tua bilang, bu ini aja kita dua hari ANBK sudah terasa capeknya, karena harus pergi keluar dan menunggu sampai anak-anak selesai," ucap Iyusmidar.
Awalnya, para guru sepakat tidak memberi tahu kabar penutupan agar siswa tidak patah semangat. Namun, saat jurnalis mendatangi sekolah, murid mengetahui informasi tersebut dan langsung menangis. "Jadi betulan ya sekolah kita mau ditutup, dan langsung nangis histeris," kata Iyusmidar.
Meski terpukul, para guru tetap mengajar seperti biasa sambil berkoordinasi dengan dinas untuk mencari solusi. "Sebenarnya wacana ini sudah membuat gaduh bukan hanya sekolah, tetapi juga masyarakat." Dengan demikian, Iyusmidar berharap pemerintah setempat dapat mengkaji kembali wacana penutupan SDN Paya Baro. "Mereka sudah mulai berpikir bagaimana nasib anaknya. Jadi banyak yang harus dipertimbangkan sebenarnya dari wacana ini," pungkasnya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!