
Gubernur Jabar Tindak Lanjuti Kasus Desa yang Dilelang sebagai Jaminan Utang Bank
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengambil langkah tegas terkait kasus desa di Bogor yang dilelang sebagai jaminan utang bank. Masalah ini menarik perhatian khusus dari pihaknya, dan ia berencana untuk segera melakukan kunjungan ke daerah tersebut guna memastikan penyelesaian masalah secara langsung.
Dedi menjelaskan bahwa ada tanah adat seluas 800 hektare di Desa Sukaharja yang berbatasan langsung dengan Desa Sukawangi. Tanah tersebut termasuk dalam aset sitaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan saat ini sedang dalam proses lelang. Ia menyatakan bahwa kasus ini muncul akibat adanya kesalahan prosedur dalam pemberian jaminan oleh pihak tertentu.
"Besok saya akan ke sana. Pokoknya itu aset desa, aset masyarakat, nanti saya akan bicarakan dengan pihak perbankannya. Berarti kan ada prosedur yang salah dalam memberikan jaminan," ujar Dedi dalam pernyataannya.
Menurut Dedi, aset desa tersebut seharusnya tercatat dengan baik di tingkat desa dan semua kewenangan terletak pada bupati atau wali kota. Oleh karena itu, ia akan meminta desa untuk segera melakukan pemutakhiran data tentang aset-aset yang dimiliki. Ia juga menyoroti bahwa banyak aset yang tidak memiliki sertifikat, sehingga menjadi kendala dalam pengelolaan.
"Kalau memang itu ternyata aset itu tiba-tiba menjadi aset jaminan bank, saya akan menyiapkan pengacara untuk menggugat," tambahnya.
Permasalahan Awal yang Menjadi Pemicu
Masalah ini bermula dari sengketa lahan sitaan BLBI yang terkait dengan terpidana Lee Darmawan K.H alias Lee Chin Kiat. Berdasarkan arsip Desa Sukaharja, pada tahun 1983, Lee Darmawan, selaku Direktur PT Bank Perkembangan Asia, memberikan pinjaman Rp 850 juta kepada PT Perkebunan dan Peternakan Nasional Gunung Batu. Pinjaman tersebut dijaminkan dengan tanah adat seluas 406 hektare di Desa Sukaharja.
Pada tahun 1991, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan dalam Perkara No. 1622 K/PID/1991 yang menyita lahan agunan PT. Perkebunan dan Peternakan Nasional Gunung Batu. Luas tanah yang disita kemudian bertambah dari 406 Ha menjadi 445 Ha.
Namun, dalam eksekusi yang dilakukan oleh Satgas Gabungan BI dan Kejagung tiga tahun kemudian, hanya ditemukan sekitar 80 hektare. Warga setempat tidak pernah benar-benar menjual tanah mereka. Bahkan, nama penjual tidak dikenal.
Pada periode 2019 hingga 2022, Satgas BLBI bersama BPN kembali mengeklaim 445 hektare tanah sitaan Lee Darmawan. Semua proses pemindahan hak atas tanah, sertifikasi hasil jual beli, hingga pajak bumi dan bangunan diblokir. Hal ini dilakukan tanpa mempertimbangkan hasil verifikasi tahun 1994 yang dilaporkan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Kekhawatiran Warga Desa Sukamulya
Warga Desa Sukamulya juga merasa khawatir dengan klaim tanah yang dilakukan oleh BLBI. Satiri, warga Kampung Pamidangan, menyebutkan bahwa ada 11 rumah di wilayahnya yang masuk dalam lahan sitaan. Padahal, tanah tersebut diwarisi turun-temurun oleh warga.
"Warga tetap bertahan karena enggak pernah menjual tanah," ujarnya. Ia mengaku bahwa warga tidak bisa mengurus sertifikat tanah sejak 2021 karena status lahan terblokir. Bahkan, pernah ada pihak yang datang memperingatkan agar tidak membangun rumah permanen.
Enjang Sobur, Ketua RT 01 RW 07 Kampung Ciherang, juga menyampaikan kekhawatiran serupa. Menurutnya, lahan warganya berupa sawah dan kebun seluas lebih dari 5 hektare kini diklaim sebagai aset BLBI. Ia menegaskan bahwa warga memiliki alas hak berupa surat waris dan hibah, serta lahan tersebut dikelola turun-temurun.
"Dari dulu memang tanah warga dari turun-temurun dari nenek moyangnya, seperti waris, hibah, itu tidak pernah menjualbelikan warga," tegasnya.
Dengan adanya klaim tersebut, warga semakin resah. Enjang mengatakan bahwa ketika dilakukan pengukuran PTSL, ada yang diklaim BLBI dan tidak bisa dinaikkan ke PTSL. Hal ini membuat warga merasa tidak aman dan membutuhkan perlindungan dari pemerintah.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!