Dilema Bank Sentral: Jaga Rupiah atau Dorong Pertumbuhan?

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Tantangan BI dalam Menjaga Stabilitas dan Mendukung Pertumbuhan Ekonomi

Bank Indonesia (BI) kini berada di tengah tekanan untuk menjaga stabilitas rupiah sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi. Dalam beberapa pekan terakhir, nilai tukar rupiah mengalami pelemahan meskipun sempat naik tipis ke angka Rp16.684 per dolar Amerika Serikat (AS). BI menilai pelemahan tersebut dipengaruhi oleh dinamika global, termasuk tarif impor.

Di sisi lain, BI terus mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan moneter. Salah satu langkah yang dilakukan adalah penurunan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada September 2025, sehingga mencapai level 4,75%. Ini merupakan bagian dari tren pelonggaran suku bunga yang telah dilakukan sejak September 2024, dengan total penurunan sebesar 125 bps.

Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan bahwa BI akan terus memantau ruang penurunan BI Rate hingga akhir 2025, sesuai dengan prospek inflasi tahun ini dan tahun depan. Selain itu, ia juga mengakui adanya kemungkinan The Fed menurunkan suku bunga lagi hingga akhir 2025. BI memperkirakan The Fed akan melakukan setidaknya satu kali penurunan suku bunga pada 2025 setelah bulan ini menurunkan sebesar 25 bps ke level 4,25%.

Kebijakan Moneter yang Berdampak pada Perbankan

BI telah melakukan berbagai langkah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk memberikan likuiditas lebih dari Rp800 triliun kepada perbankan. Tujuannya adalah agar perbankan dapat menurunkan suku bunga kredit guna meningkatkan akses pembiayaan bagi masyarakat. Namun, realisasi dari kebijakan ini masih jauh dari harapan.

Dari segi transmisi kebijakan suku bunga, Perry mengakui bahwa ada kendala dalam penyampaian penurunan suku bunga acuan ke level perbankan. Hal ini disebabkan oleh adanya special rate untuk deposan besar. Selain itu, dunia usaha masih menunggu dan belum siap mengambil kredit, yang terlihat dari jumlah kredit yang belum dicairkan atau undisbursed loan hingga Rp2.372,1 triliun.

Sinergi dengan Pemerintah dan Program Prioritas

BI juga menunjukkan dukungan penuh terhadap program prioritas pemerintah, seperti Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) dan 3 Juta Rumah. Untuk mendukung dua program tersebut, BI dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) yang bertujuan untuk berbagi beban bunga pembiayaan fiskal, yang dikenal sebagai burden sharing.

Meski istilah burden sharing pernah digunakan selama masa pandemi, kini penggunaannya tidak lagi dalam kondisi darurat. Ketua Komisi XI DPR Misbakhun meminta agar BI mencari terminologi baru untuk menghindari kebingungan publik. Perry setuju dengan pendapat tersebut dan menyatakan bahwa sinergi antara otoritas moneter dan fiskal saat ini berbeda dengan masa pandemi.

Beban Berat dalam Menjaga Independensi

Mandat BI untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sudah diatur dalam UU No.4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Draf RUU PPSK yang diterima Bisnis menambahkan mandat baru untuk menciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif bagi pertumbuhan sektor riil dan penciptaan lapangan kerja.

Namun, draf RUU tersebut masih menjadi perdebatan. Misbakhun menyatakan bahwa dokumen tersebut belum terkonfirmasi. Sementara itu, BI masih enggan berkomentar lebih lanjut mengenai draf revisi UU PPSK tersebut.

Perlu Keseimbangan dalam Kebijakan

Menurut Kepala Ekonom Bank Permata Tbk., Josua Pardede, BI harus tetap fokus pada stabilitas harga sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi melalui sinergi dengan otoritas fiskal. Ia menilai bahwa arah seperti ini selaras dengan praktik internasional, seperti yang dilakukan Federal Reserve dan Bank Sentral Eropa.

Josua menekankan pentingnya memperjelas hierarki tujuan dalam setiap dokumen kebijakan BI agar komitmen pro pertumbuhan tidak mengurangi komitmen dalam menjaga stabilitas. Dalam situasi tarik-menarik antara dorongan pertumbuhan dan risiko inflasi atau gejolak nilai tukar, prioritas tetap pada stabilitas harga dan stabilitas sistem keuangan.

Selain itu, BI diminta untuk menghindari intervensi langsung dalam pembiayaan proyek atau kredit terarah yang rawan mengaburkan akuntabilitas dan menimbulkan risiko fiskal terselubung. Adanya indikator pemicu untuk menarik kembali pelonggaran pro pertumbuhan juga diperlukan jika risiko stabilitas meningkat.

Sinergi BI dengan pemerintah harus tetap dibatasi oleh mandat dan instrumen masing-masing. Langkah pro-growth BI perlu sejalan dengan disiplin fiskal pemerintah. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa ketika kebijakan moneter dipaksa mengakomodasi kebutuhan fiskal, kredibilitas anti-inflasi tergerus dan biaya penyesuaian makin besar.