
Perubahan Ekosistem Hutan di Sumatra dan Dampaknya pada Masyarakat
Dalam dua dekade terakhir, perubahan fungsi hutan yang dilakukan dengan alasan investasi dan pembangunan semakin marak terjadi di wilayah Sumatra. Ratusan ribu hektar lahan berubah menjadi perkebunan musiman atau ditebang untuk memenuhi kebutuhan industri. Akibatnya, ekosistem hutan mengalami kerusakan yang serius dan mengurangi ruang hidup masyarakat.
Peristiwa ini dibahas dalam acara nonton bareng dan diskusi publik yang diselenggarakan oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) Simpul Lampung bersama beberapa organisasi seperti Teknokra Unila, Taman Diskusi FISIP Unila, Pojok FISIP Unila, Aliansi Pers Mahasiswa Lampung, dan HMJ Sosiologi Unila. Acara tersebut digelar di Graha Kemahasiswaan Unila pada Kamis, 25 September 2025.
Diskusi dipandu oleh Koordinator SIEJ Lampung Derri Nugraha dengan empat narasumber, yaitu Staf Divisi Sipil dan Politik YLBHI-LBH Bandar Lampung Arif Ridho Tawakal, Staf Kampanye dan Jaringan Walhi Lampung Annisa Despitasari, Jurnalis Tempo Fachri Hamzah, dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Yanyan Ruchyansyah.
Acara dimulai dengan nonton bareng di balik layar liputan investigasi kolaborasi berjudul “Menyelamatkan Mentawai Dari Keserakahan”. Liputan ini dirilis oleh enam media nasional dan lokal, termasuk Tempo, KBR, Langgam, Mentawaikita, Law-justice, dan Ekuatorial melalui platform Depati Project.
Hasil dari liputan tersebut menunjukkan bahwa Pulau Sipora, salah satu dari 114 pulau di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, menghadapi ancaman kehilangan lebih dari 21.000 hektar hutan akibat izin pengusahaan hutan. Situasi ini sangat mengkhawatirkan karena Sipora adalah pulau kecil yang dihuni oleh masyarakat adat yang ketergantungan pada hutan. Saat ini, pulau tersebut mengalami krisis air saat musim kemarau dan banjir ketika hujan turun. Jika kerusakan hutan terus berlanjut, kondisi ini akan semakin memburuk.
Kondisi serupa juga terjadi di Lampung. Menurut data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, dari tahun 2001 hingga 2023, Lampung kehilangan sekitar 303.000 hektar tutupan pohon yang menghasilkan emisi karbon sebesar 161 juta ton CO₂e. Alih fungsi lahan hutan ke industri perkebunan musiman seperti sawit dan tebu menjadi salah satu penyebab utama kerusakan ini.
Sebanyak 108.909 hektar kawasan hutan di Lampung telah diberikan izin usaha pemanfaatan hutan, yang sebagian besar dikelola oleh korporasi besar seperti PT Inhutani V, PT Silva Inhutani Lampung, dan PT Budi Lampung Sejahtera. Selain itu, terjadi perubahan luas hutan selama periode 2000-2020. Berdasarkan keputusan Menhutbun No. 256/KPTS-II/2000, total luas hutan mencapai 1.004.735 hektare. Namun pada 2021, Surat Keputusan KLHK No. SK.6618/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/10/2021 menyebut, luas hutan Lampung hanya 948.641,07 hektare.
Annisa Despitasari menyampaikan bahwa degradasi hutan semakin memperparah kondisi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Ia menekankan bahwa yang mendapat keuntungan paling besar adalah korporasi. Penggundulan hutan atas nama investasi membawa dampak serius seperti hilangnya habitat flora dan fauna, percepatan perubahan iklim, dan terganggunya keseimbangan ekosistem. Masyarakat lokal yang mengandalkan hutan untuk mata pencaharian mereka juga sangat terdampak.
Arif Ridho Tawakal menyoroti konflik agraria yang terjadi di Lampung. Ia menyatakan bahwa hampir di seluruh kabupaten/kota mengalami konflik lahan. Dalam perebutan ruang hidup tersebut, masyarakat selalu menjadi entitas paling tertindas. Korporasi dan mafia tanah menjadi momok penghisap lahan rakyat. Bahkan, dalam beberapa konflik justru terjadi secara struktural, di mana pelaku mafia tanah adalah pejabat dari tingkat desa hingga petugas BPN.
Ia menegaskan bahwa konflik-konflik yang terjadi kebanyakan karena minimnya informasi masyarakat terkait pelepasan kawasan hutan sejak tahun 2000. Masyarakat tidak mengetahui bahwa lahan yang mereka tempati bukan lagi kawasan hutan. Namun tiba-tiba, tanah mereka diklaim sepihak oleh perusahaan/oknum melalui Hak Guna Usaha (HGU) atau sertifikat hak milik. Dan ketika masyarakat menuntut haknya, seringkali justru mendapat kriminalisasi.
Yanyan Ruchyansyah, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, mengakui bahwa kondisi hutan di Lampung cukup memprihatinkan. Ia menyatakan bahwa kerusakan hutan di Lampung bisa lebih dari 37 persen. Sebab saat ini, 80 persen dari total Kawasan hutan yang dikelola Dinas Kehutanan, sudah ada aktivitas manusia. Artinya hanya tersisa 20 persen hutan yang masih murni atau belum terjamah.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya menjadikan manusia atau masyarakat yang tinggal di kawasan hutan sebagai subjek pelestarian hutan. Salah satu cara yang ditempuh melalui mekanisme perhutanan sosial. Lewat program tersebut, masyarakat tidak hanya mengambil manfaat dari hutan namun juga berupaya mengembalikan fungsi Kawasan hutan.
Fachri Hamzah, yang mengikuti diskusi secara online lewat Zoom dari Sumatra Barat, menyampaikan bahwa ada pola yang cukup serupa antara yang terjadi di Mentawai dan Lampung. Di mana, sejumlah besar kawasan hutan diberikan izin kepada korporasi besar untuk pengusahaan hutan. Hal ini menurutnya cukup berbahaya, sebab bila belajar dari Mentawai, perusahaan yang diberi izin tersebut sebelumnya sudah pernah mengelola hutan di pulau lain. Namun alih-alih menjaga hutan tersebut, perusahaan hanya mengambil kayu secara besar-besaran tanpa diiringi penghijauan kembali. Dampaknya, ekosistem alam setempat rusak dan masyarakat kehilangan sumber-sumber penghidupan. Lebih parahnya, bencana alam kerap terjadi di sana. Dan ketika masyarakat menolak penghancuran hutan mereka justru berujung kriminalisasi.
Untuk itu, Fachri mengimbau agar pemerintah lebih memprioritaskan kepentingan masyarakat ketimbang korporasi yang berorientasi ekonomi semata. Sebab sesuai konstitusi, setiap kekayaan alam di Indonesia harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!