
Kebijakan Dana Negara untuk Bank BUMN: Harapan dan Tantangan
Di kios kecil yang menjual pakaian thrifting di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Rudy Sembiring sedang menghitung ulang uang modalnya. Ia baru saja menolak pembelian grosir karena stok barang terbatas dan perputaran modal yang sangat tipis. Ia mengeluh bahwa jika ada tambahan pinjaman, ia bisa membeli lebih banyak barang. Namun, syarat yang diberikan oleh bank terlalu berat.
Cerita Rudy mencerminkan dilema yang dialami oleh banyak pelaku usaha kecil, petani, hingga nelayan yang kesulitan dalam mengakses kredit. Di tengah tantangan ini, pemerintah mengumumkan kebijakan besar dengan penempatan dana negara sebesar Rp200 triliun di lima bank BUMN, yaitu BRI, BNI, Mandiri, BTN, dan BSI. Keputusan ini diambil melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025.
Polemik Konstitusi
Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, menilai kebijakan ini tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurutnya, penggunaan dana negara seharusnya dibahas bersama DPR sesuai dengan UUD 1945, UU Keuangan Negara, dan UU APBN. Ia menegaskan bahwa jika prosedur tersebut dilanggar, maka akan menjadi preseden buruk. Anggaran publik digunakan sekehendak hati para pejabat.
Bantahan dari Istana dan Menteri Keuangan
Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Presiden, Fithra Faisal Hastiadi, menolak tudingan tersebut. Ia menekankan bahwa penempatan dana bukanlah belanja baru, melainkan pemindahan kas negara dari Bank Indonesia ke bank umum. “Secara hukum berbeda. Ini seperti memindahkan tabungan, bukan membelanjakan uang,” jelasnya.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa juga menegaskan bahwa langkah ini pernah dilakukan sebelumnya, termasuk pada tahun 2008 dan 2021. “Ini bukan perubahan anggaran, tapi manajemen kas untuk mendukung stabilitas,” ujarnya.
Dukungan dari OJK dan BI
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai kebijakan ini akan memperkuat likuiditas perbankan, menurunkan loan to deposit ratio (LDR), dan memberi ruang bagi bank untuk menyalurkan kredit lebih luas. Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebut kebijakan ini sebagai pelengkap dari injeksi likuiditas yang telah dilakukan oleh bank sentral, yang mencapai ratusan triliun.
Antara Harapan dan Risiko
Di warung kecilnya, Rahmah, seorang pedagang lain, berharap kebijakan ini benar-benar berdampak langsung kepada masyarakat bawah. “Kalau bisa membuat kami lebih mudah meminjam modal, saya dukung,” katanya.
Rp200 triliun ini, pada akhirnya, bukan hanya sekadar angka di neraca negara. Ia adalah cermin dari manajemen kas, pertaruhan kepercayaan publik, dan ujian kepatuhan konstitusi. Bagi sebagian orang, ini adalah strategi fiskal yang fleksibel. Namun, bagi yang lain, ini bisa menjadi potensi preseden buruk.
Di Persimpangan Kebijakan
Di persimpangan inilah, bangsa diuji: apakah kebijakan ini menjadi nafas baru bagi rakyat kecil atau sekadar angka yang berputar di lingkaran elite. Dengan berbagai pro dan kontra, kebijakan ini menjadi sorotan utama dalam dunia politik dan ekonomi nasional.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!