
Ambisi Indonesia dalam Menghadapi Krisis Iklim dan Pangan
Presiden Joko Widodo, atau yang lebih dikenal dengan nama Prabowo Subianto, dalam pidato perdana di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan keinginan kuat Indonesia untuk menjadi aktor global dalam menghadapi krisis iklim dan pangan. Dalam pidatonya, ia menyampaikan beberapa inisiatif penting, seperti klaim swasembada beras, komitmen reforestasi 12 juta hektare lahan terdegradasi, pembangunan tanggul laut sepanjang 480 kilometer, serta target nol emisi pada 2060 atau bahkan lebih cepat.
Namun, ada pandangan kritis dari berbagai kalangan yang melihat bahwa upaya yang dilakukan belum sepenuhnya menyentuh akar masalah. Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, menilai bahwa penyelesaian krisis iklim di Indonesia cenderung terlalu fokus pada solusi teknis tanpa memahami penyebab utama, yaitu pengelolaan sumber daya dan keanekaragaman hayati.
Menurut Nadia, Indonesia perlu lebih fokus pada ekonomi restoratif yang mampu memulihkan lingkungan sekaligus memperkuat keadilan sosial. Ia menyoroti fokus pada pertumbuhan ekonomi sebesar 8% yang justru berpotensi mengorbankan hutan dan keanekaragaman hayati. Hal ini menjadi tantangan besar bagi negara yang memiliki kekayaan alam yang sangat besar.
Masalah Kekayaan dan Ketahanan Pangan
Dalam laporan riset CELIOS tahun 2024, diketahui bahwa kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang. Sebanyak 56% dari kekayaan tersebut berasal dari sektor ekstraktif. Pertanyaannya adalah siapa sebenarnya yang benar-benar menikmati hasil ekonomi ini?
Selain itu, peneliti CELIOS, Jaya Darmawan, menyatakan bahwa sektor pertanian saat ini sedang tercekik, tidak relevan dengan pernyataan Presiden tentang swasembada beras. Luas sawah di Indonesia mengalami penurunan dari 10,21 juta hektare pada 2023 menjadi 10,05 juta hektare pada 2024. Hasil panen juga turun dari 53,98 juta ton menjadi 53,14 juta ton.
Di wilayah Jayapura dan Merauke, harga beras rata-rata per bulan terus meningkat, bahkan mencapai Rp 18.000/kg. Angka ini lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET), yaitu Rp 14.365/kg untuk beras medium dan Rp 16.169/kg untuk beras premium.
Target Energi Terbarukan yang Tidak Konsisten
Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Saffanah Azzahra, menyoroti bahwa target energi terbarukan Indonesia justru menurun. Dalam Kebijakan Energi Nasional terbaru, porsi energi bersih pada 2030 hanya 19–23%, lebih rendah dibanding target sebelumnya.
Dengan dominasi energi fosil sebesar 79% pada 2030, mustahil bagi Indonesia untuk memenuhi target Perjanjian Paris. Ia juga menyoroti teknologi co-firing yang sering disebut mampu menurunkan emisi dari PLTU batu bara. Namun, berdasarkan data Forest Watch Indonesia, co-firing pada 52 PLTU menciptakan deforestasi sebesar 4,65 juta hektar.
Isu Hak Asasi Manusia
Dari sisi hak asasi manusia, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai janji Prabowo menjaga perdamaian dunia hanya sebatas retorika. Ia menegaskan bahwa jika Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma dan Konvensi Pengungsi, kecaman genosida di Gaza hanya akan menjadi pepesan kosong.
Usman juga mengingatkan bahwa komitmen HAM tidak bisa dipisahkan dari situasi di dalam negeri, termasuk penahanan aktivis pasca demonstrasi Agustus 2025. “Untuk apa memoles gincu di luar negeri, jika hak asasi manusia di dalam negeri diabaikan,” katanya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!