
Pertumbuhan Ekonomi Malang Raya Tetap Stabil di Triwulan II 2025
Pertumbuhan ekonomi wilayah Malang Raya pada triwulan kedua tahun 2025 menunjukkan tren positif. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Malang, pertumbuhan ekonomi mencapai kisaran antara 4,7 hingga 5,5 persen secara year on year (yoy). Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan di triwulan pertama tahun yang sama, yaitu sebesar 5,07 dan 5,02 persen.
Kota Malang dan Kabupaten Malang menjadi dua daerah yang mengalami peningkatan signifikan. Kota Malang mencatatkan pertumbuhan sebesar 6,37 persen, sedangkan Kabupaten Malang mencapai 5,96 persen. Namun, berbeda dengan keduanya, Kota Batu justru mengalami perlambatan. Pada triwulan kedua, pertumbuhan ekonomi Kota Batu turun menjadi 4,70 persen, yang merupakan angka terendah dibandingkan kabupaten/kota lainnya dalam wilayah kerja BI Malang.
Menurut Deputi Kepala Kantor Perwakilan BI Malang, Dedy Prasetyo, salah satu penyebab perlambatan tersebut adalah kebijakan efisiensi yang diterapkan pemerintah baik di tingkat daerah maupun pusat. Kebijakan ini berdampak langsung pada sektor industri pariwisata, terutama bisnis, pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran.
Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi di wilayah kerja BI Malang pada triwulan kedua 2025 mencapai 5,82 persen (yoy), lebih tinggi dari 5,00 persen pada triwulan sebelumnya. Optimisme ini didasari oleh prospek positif dari sejumlah sektor utama, seperti pariwisata, konstruksi, perdagangan, serta industri pengolahan yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian di Malang Raya.
Dedy menyampaikan harapan bahwa sektor pariwisata akan membaik pada semester kedua tahun ini, disusul oleh konstruksi dan perdagangan. Industri pengolahan juga diharapkan dapat tumbuh lebih pesat, karena sektor-sektor ini menjadi penopang utama perekonomian selain pertanian.
Namun, BI Malang juga mencatat adanya tantangan serius di sektor pertanian, khususnya pada sektor tebu. Harga gula pasir di tingkat konsumen relatif rendah, yang dipengaruhi oleh masuknya gula rafinasi ke pasar. Gula rafinasi seharusnya hanya digunakan untuk kebutuhan industri, namun saat ini banyak beredar di pasar konsumen.
Akibatnya, pelaku usaha mengalami kesulitan dalam menjual produk mereka. Stok gula di pedagang besar maupun pabrik menumpuk, sehingga hasil gilingan tebu tidak terserap maksimal. Hal ini menyebabkan harga pembelian tebu menurun, yang berdampak pada pendapatan petani. Tidak hanya itu, penurunan daya beli masyarakat juga menjadi kekhawatiran.
Wilayah Malang Raya, Pasuruan, dan Probolinggo memiliki konsentrasi perkebunan tebu yang cukup besar. Di beberapa skema pengelolaan, petani memiliki hak untuk menjual gula secara langsung melalui mekanisme gula petani. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, mereka menghadapi kesulitan dalam menyalurkan produk ke pasar karena harga yang tertekan.
Meski demikian, Dedy menegaskan bahwa laju inflasi di wilayah kerja BI Malang sepanjang tahun 2025 masih terkendali. Hal ini didukung oleh sinergi yang semakin baik dalam upaya pengendalian inflasi pangan. Ketika ada gejolak harga pangan, respons cepat dari berbagai pihak membantu menjaga stabilitas harga.
Dengan proyeksi pertumbuhan yang positif dan inflasi yang terjaga, BI Malang tetap optimistis bahwa perekonomian regional akan tumbuh stabil. Namun, keberlanjutan kinerja sektor pertanian, terutama tebu, dinilai perlu mendapat perhatian serius agar tidak menjadi faktor penekan daya beli di tingkat masyarakat.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!