
Pertumbuhan Transaksi Digital di Indonesia yang Menjanjikan
Penggunaan uang elektronik di Indonesia terus mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah kemudahan dalam melakukan transaksi digital. Menurut peneliti senior dari Tenggara Strategics, Galby Rifqi Samhudi, tren positif ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin mempercayai dan menggunakan layanan pembayaran digital.
Peningkatan Volume dan Nilai Transaksi
Menurut data yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI), volume transaksi digital mencapai 4,43 miliar transaksi pada Agustus 2025. Angka ini meningkat sebesar 39,79 persen secara tahunan. Penurunan ini didukung oleh pertumbuhan di seluruh komponen transaksi digital, termasuk aplikasi mobile dan internet.
Adapun transaksi melalui QRIS tercatat mengalami kenaikan yang sangat signifikan, yaitu sebesar 145,07 persen. Hal ini menunjukkan bahwa metode pembayaran digital semakin diminati masyarakat.
Kemudahan dalam Bertransaksi
Galby menjelaskan bahwa kemudahan penggunaan platform seperti QRIS menjadi salah satu alasan utama masyarakat beralih ke transaksi digital. Ia menyebutkan bahwa ketika seseorang ingin membeli makanan seperti bakso atau ketoprak, membawa uang receh bisa terasa merepotkan. Dengan menggunakan QRIS, proses transaksi menjadi lebih cepat dan efisien.
"Jadi kalau kita selalu user, mungkin teman-teman semua ini ketika mau beli bakso, ketoprak, dan lain sebagainya, agak mabes gitu ya bawa receh, bawa duit. Ketika pakai QRIS, ini bisa lebih lancar, lebih enak jajannya," ujarnya.
Inklusi Keuangan dan Keseimbangan Keamanan
Selain mempermudah gaya hidup, transaksi digital juga berkontribusi pada inklusi keuangan berbasis teknologi. Namun, Galby menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kemudahan dan keamanan. Saat ini, Indonesia telah memiliki beberapa mekanisme pengamanan seperti PIN, OTP, hingga biometrik serta sistem KYC (Know Your Customer).
"Jadi paket kebijakan tersebut kami lihat ini sudah cukup memadai untuk mengamankan transaksi digital dan juga mendorong inklusi keuangan demi pertumbuhan ekonomi digital Indonesia," katanya.
Regulasi dan Peran Swasta
Galby juga menyampaikan pentingnya regulasi dalam mengatur transaksi digital. Salah satu contohnya adalah revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 17 ayat 2A. Aturan ini menyoroti transaksi elektronik risiko tinggi yang tidak dilakukan secara tatap muka fisik.
Ia menegaskan bahwa penerapan sertifikat elektronik bisa menjadi tantangan baru bagi pengguna. "Kira-kira bakal segampang ini nggak ya kita bayar pakai QRIS dan e-wallet dan lain sebagainya kalau ada tambahan layer sertifikasi elektronik? Nah ini yang perlu kita antisipasi," ujarnya.
Selain itu, ia menyoroti peran swasta dalam memperkuat ekosistem digital. Misalnya, inisiatif dari pelaku bisnis seperti Indonesia Anti Scam Center (IASC) dapat membantu melindungi pengguna dari ancaman kejahatan digital.
Pentingnya Literasi Pengguna
Galby juga menekankan bahwa masalah keamanan digital tidak hanya terletak pada regulasi, tetapi juga dari sisi pengguna. Literasi pengguna harus ditingkatkan karena banyak kasus penipuan terjadi akibat kelalaian konsumen sendiri.
"Jadi mau pengamanannya seketat apa pun gitu ya, kalau misalnya konsumennya itu bocor, kayak misalnya sudah dikirim OTP terus OTPnya di upload di instastory gitu ya bocor juga, ya kecurian juga, hilang juga duitnya," tegasnya.
Dengan demikian, transaksi digital di Indonesia terus berkembang pesat, namun tetap perlu adanya kesadaran dan kehati-hatian dari pengguna agar dapat merasakan manfaatnya secara optimal.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!