
Rupiah Melemah, Kekhawatiran Terhadap Stabilitas Ekonomi Meningkat
Nilai tukar rupiah mengalami penurunan pada perdagangan hari ini, Kamis, 25 September 2025. Rupiah melemah hingga mencapai level Rp 16.758 per dolar Amerika Serikat (AS), yang merupakan penurunan sebesar 74 poin dibandingkan dengan penutupan hari sebelumnya di tingkat Rp 16.684 per dolar AS. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap rupiah semakin besar dalam beberapa hari terakhir.
Seorang pengamat mata uang dan komoditas, Ibrahim Assuaibi, menyatakan bahwa jika rupiah terus melemah hingga mencapai level Rp 17.000 per dolar AS, maka nilai tukar bisa saja melampaui ambang batas tersebut pada bulan Oktober. Menurutnya, ada beberapa faktor eksternal yang memengaruhi kondisi ini.
Salah satu penyebab utama adalah penguatan dolar AS akibat ketegangan geopolitik di Eropa. Presiden AS Donald Trump dalam pidatonya di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan peringatan kepada negara-negara Eropa untuk tidak terus membeli minyak dari Rusia. Di sisi lain, Ukraina, yang didukung oleh NATO dan AS, terus melakukan serangan terhadap infrastruktur energi Rusia. Selain itu, Ukraina juga berharap agar wilayah yang saat ini dikuasai oleh Rusia dapat dikembalikan ke pihaknya.
Ibrahim menjelaskan bahwa perjanjian gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina akan memerlukan pengembalian wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Rusia. Namun, hal ini dinilai sangat sulit untuk dilakukan. "Ini yang kemungkinan besar sangat sulit dilakukan," ujarnya.
Di sisi internal, Ibrahim menilai bahwa penolakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terhadap pengampunan pajak atau tax amnesty menjadi salah satu faktor yang memperparah melemahnya rupiah. Menurutnya, pasar sangat menginginkan adanya kebijakan tax amnesty. "Pasar merespons negatif terhadap pernyataan-pernyataan Purbaya tentang penolakan tax amnesty," katanya.
Bank Indonesia (BI) saat ini terus melakukan intervensi di pasar Non-Deliverable Forward (NDF) dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF). Ibrahim menyebut bahwa intervensi ini dilakukan karena adanya spekulasi yang besar di pasar internasional. Ia membandingkan situasi ini dengan era menteri keuangan sebelumnya, yaitu Sri Mulyani Indrawati. Menurutnya, di era sebelumnya, meskipun BI melakukan intervensi, pergerakan rupiah relatif lebih stabil.
Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan tidak setuju dengan rencana pengampunan pajak kembali diberikan. Ia menilai bahwa pengampunan pajak yang diberikan berulang kali berisiko bagi kepatuhan para pembayar pajak. "Kalau amnesti berkali-kali, itu memberi signal ke kepala pembayar pajak bahwa boleh melanggar karena nanti ke depan ada amnesti lagi," ujarnya.
RUU Tax Amnesty kembali bergulir setelah masuk ke dalam long list atau daftar panjang Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029. Sebelumnya, RUU ini sempat masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025 sebagai usulan Komisi XI DPR. Namun, dalam rapat panitia kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama pemerintah, RUU tersebut disebut dikeluarkan dari prioritas dan masuk ke dalam long list.
Menurut Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun, RUU Tax Amnesty dalam Prolegnas hanya prosedur dan proses formal semata. "Bukan berdasarkan pada kebutuhan yang mendesak untuk digunakan sebagai instrumen kebijakan dalam waktu dekat ini," ujarnya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!