
Momentum Kritis bagi PPP di Muktamar ke-X
Muktamar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ke-X yang digelar akhir pekan ini menjadi momen penting dalam sejarah partai berlambang Kabah. Hasil dari muktamar ini akan menentukan apakah PPP bisa bangkit kembali atau justru menghadapi kepunahan.
Dosen Departemen Politik Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro, Wahid Abdulrahman, menyatakan bahwa posisi PPP saat ini berada di persimpangan jalan. Dalam catatannya, sepanjang sejarah pemilu di Indonesia, belum pernah ada partai yang mampu kembali ke parlemen setelah gagal lolos ambang batas parlemen. Hal ini memperkuat kekhawatiran terhadap masa depan PPP.
Sejak Pemilu 2014, suara PPP terus menurun. Pada Pemilu 2014, PPP meraih 8.152.957 suara atau 6,53 persen. Di Pemilu 2019, jumlahnya turun menjadi 6.323.147 suara atau 4,52 persen. Dan pada Pemilu 2024, PPP kembali merosot menjadi 5.878.777 suara atau 3,87 persen.
Menurut Wahid, penurunan ini disebabkan oleh kegagalan internal dalam mengelola konflik, termasuk dualisme kepengurusan dan persaingan faksi menjelang Pemilu 2024. Situasi ini diperburuk dengan melemahnya basis pemilih tradisional PPP, ditambah ketidakmampuan partai membaca arah politik nasional dan merespons perubahan demografi pemilih.
“PPP gagal menjaga basis santri, sementara di sisi lain tidak cukup adaptif terhadap generasi milenial dan zilenial yang kini mendominasi,” ujarnya.
Wahid menilai muktamar kali ini sangat menentukan, terutama dalam pemilihan Ketua Umum dan Sekjen. Figur yang terpilih harus mampu menjawab dua tantangan besar PPP, yakni menjaga basis tradisional sekaligus menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Menurutnya, kehadiran figur santri dengan garis nasab ulama sangat penting untuk menjaga ekosistem utama PPP yang bersumber dari pesantren. Figur ini, baginya, harus memiliki daya tarik elektoral, jaringan santri yang luas, serta kapasitas konsolidasi internal. Idealnya, sosok tersebut juga memiliki pengalaman di legislatif atau eksekutif.
Namun, Wahid juga menilai kehadiran figur pengusaha tidak kalah penting. Latar belakang pengusaha dibutuhkan untuk menopang kebutuhan finansial partai, mengingat biaya politik untuk Pemilu mendatang diperkirakan jauh lebih besar dibanding 2024.
“Kesiapan finansial sangat vital, bukan hanya soal kemampuan mendanai, tapi juga karakter kepemimpinan yang responsif terhadap perubahan,” tuturnya.
Karena itu, Wahid menyebut kombinasi figur santri dan pengusaha dapat menjadi formula ideal bagi PPP. Komposisi tersebut diharapkan mampu menyatukan kekuatan internal sekaligus menjawab tantangan elektoral lima tahun ke depan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!