
Penempatan Dana Pemerintah di Bank Milik Negara
Pemerintah telah menempatkan dana sebesar Rp 200 triliun di bank-bank milik negara (Himbara) dengan tujuan untuk memperkuat pertumbuhan kredit perbankan. Langkah ini dinilai sebagai inisiatif penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi keberhasilannya akan bergantung pada berbagai faktor pendukung lainnya.
Tujuan utama dari penempatan dana tersebut adalah untuk mendorong pertumbuhan kredit yang dapat meningkatkan investasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Meski demikian, langkah ini perlu didukung oleh kebijakan yang searah dari otoritas moneter serta deregulasi di sektor riil agar benar-benar efektif.
Dana sebesar Rp 200 triliun ini setara dengan 4,5 persen dari total simpanan perbankan nasional. Rinciannya, BRI, Mandiri, dan BNI masing-masing menerima Rp 55 triliun, BTN sebesar Rp 25 triliun, dan BRIS sebesar Rp 10 triliun. Biaya penempatan dana ditetapkan sebesar 4 persen, lebih rendah dibandingkan deposito khusus sebelumnya yang berkisar antara 5–7 persen. Hal ini diharapkan dapat menekan biaya pendanaan dan memperkuat fungsi intermediasi perbankan.
Namun, hingga Agustus 2025, pertumbuhan kredit perbankan baru mencapai 7,56 persen secara tahunan (year on year/YoY), dengan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap di bawah 3 persen. Rasio likuiditas perbankan juga terjaga, dengan rasio Alat Likuid terhadap Non Core Deposit (AL/NCD) sebesar 120,25 persen dan terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 27,25 persen, jauh di atas ambang batas 10 persen.
Meskipun ada indikasi positif dalam stabilitas perbankan, data menunjukkan bahwa permintaan kredit masih lemah. Nilai kredit yang belum ditarik (undisbursed loan) mencapai Rp 2.372 triliun atau 22,71 persen dari plafon kredit. Angka ini menunjukkan bahwa banyak dana kredit yang sudah disediakan bank tetapi tidak digunakan oleh dunia usaha. Kondisi ini mengindikasikan lemahnya permintaan kredit.
Faktor-faktor yang menyebabkan lemahnya permintaan kredit meliputi aktivitas ekonomi pasca-COVID yang belum sepenuhnya pulih, ketidakpastian global akibat perang Ukraina, konflik Israel-Palestina, dan perang dagang yang dipicu oleh kebijakan Amerika Serikat. Oleh karena itu, fokus kebijakan harus diarahkan pada pemulihan kepercayaan usaha dan peningkatan daya beli rumah tangga.
Sejak awal tahun, Bank Indonesia telah melakukan beberapa kali pemangkasan suku bunga acuan, termasuk pemangkasan 50 basis poin pada September 2025. Meskipun demikian, pelaku usaha masih berhati-hati dalam berekspansi dan rumah tangga menahan diri untuk menambah utang. Kondisi ini menegaskan bahwa ketersediaan likuiditas dan penurunan suku bunga belum otomatis mendorong penyerapan kredit.
Likuiditas bisa disediakan, tetapi tidak bisa serta-merta membangkitkan semangat usaha. Dibutuhkan penguatan daya beli rumah tangga dan kepercayaan dunia bisnis. Pendekatan yang lebih strategis adalah mengombinasikan keringanan likuiditas dengan langkah fiskal langsung yang meningkatkan pendapatan, menciptakan lapangan kerja, dan merangsang minat investasi.
Pemerintah sebelumnya telah mengumumkan paket kebijakan ekonomi senilai Rp 16,2 triliun dengan target penciptaan tiga juta lapangan kerja hingga akhir 2025. Paket “8+4+5” ini memadukan stimulus jangka pendek, seperti bantuan beras, insentif pajak, dan program padat karya, dengan program jangka panjang di sektor koperasi, perkebunan, perikanan, dan akuakultur.
Fokus paket ini pada konsumsi sekaligus produktivitas patut diapresiasi. Langkah cepat seperti bantuan beras dan insentif pajak memberi dorongan daya beli, sementara program jangka panjang di sektor riil bisa memperkuat penciptaan lapangan kerja berkelanjutan. Tantangannya ada pada implementasi. Tetapi bila dijalankan konsisten, paket ini berpotensi menjadi katalis nyata pertumbuhan.
Keberhasilan kebijakan fiskal yang bersifat counter-cyclical menjadi kunci. Di tengah lemahnya private sector demand, negara harus hadir lebih kuat. Komitmen Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membentuk satuan tugas khusus untuk mempercepat belanja adalah langkah tepat. Kini yang terpenting adalah memastikan realisasi berjalan seiring dengan janji.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!