Tekanan Fiskal dan Kebijakan Populis Picu Rupiah Anjlok

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Tekanan terhadap Nilai Tukar Rupiah Meningkat

Nilai tukar rupiah mengalami tekanan yang semakin kuat, terutama akibat pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 serta kebijakan fiskal pemerintah. Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa hingga 31 Agustus 2025, defisit APBN mencapai Rp 321,6 triliun atau setara dengan 1,35% dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini jauh lebih besar dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp 153,4 triliun (0,69% PDB).

Pelebaran defisit ini sejalan dengan melambatnya penerimaan negara. Realisasi pendapatan hingga Agustus hanya mencapai Rp 1.638,7 triliun atau 57,2% dari outlook APBN 2025, turun sebesar 6,2% secara tahunan. Sementara itu, belanja negara telah mencapai Rp 1.960,3 triliun atau 55,6% dari outlook, yang lebih tinggi dibandingkan pendapatan.

Dalam situasi ini, pemerintah mengambil langkah agresif dengan memindahkan dana sebesar Rp 200 triliun dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) di Bank Indonesia (BI) ke bank-bank Himbara. Dana tersebut akan digunakan untuk mendanai kredit perumahan, koperasi, dan sektor produktif lainnya. Namun, kebijakan ini justru berdampak pada kemampuan BI dalam menjaga stabilitas rupiah.

Dana pemerintah di BI selama ini menjadi sumber likuiditas utama bagi operasi moneter. Dengan pemindahan dana tersebut, cadangan likuiditas BI berkurang, sementara beban burden sharing masih berjalan. Akibatnya, rupiah terus melemah, bahkan sudah menembus angka Rp 16.680 per dolar AS pada Rabu (24/9).

Ekonom Bright Institute, Yanuar Rizky, menyatakan bahwa kebijakan fiskal yang ekspansif dan tekanan terhadap BI telah meningkatkan beban terhadap rupiah. Ia menilai anomali kurs rupiah terhadap dolar AS sudah terjadi sejak Maret 2025. "Kondisi anomali kurs Rupiah dibanding USD Index terjadi sejak Maret 2025, dimana USD index yang kembali ke level pelemahan tidak diikuti oleh penguatan Rupiah, dan ini terus berlanjut sampai hari ini," ujarnya.

Menurut Yanuar, ada dua faktor utama yang memberi tekanan terhadap rupiah hingga saat ini. Pertama, dari sisi persepsi, Indonesia mengalami tekanan fiskal akibat melebarnya defisit yang disebabkan oleh penurunan penerimaan negara. Penurunan ini dipengaruhi oleh penurunan daya beli masyarakat, perlambatan industri, serta pelemahan harga komoditas ekspor.

Kedua, secara teknikal, ada tekanan populis dari kebijakan Bank Indonesia yang menunjukkan suku bunga acuannya (BI Rate), yang menyebabkan volatilitas pasar uang melebar dan berdampak pada pelemahan rupiah.

Surplus neraca perdagangan pun tidak memberikan dampak positif terhadap rupiah karena devisa hasil ekspor tidak kembali ke sistem perbankan nasional. Surplus lebih banyak tercipta akibat penurunan impor, termasuk bahan baku industri. Struktur cadangan devisa Indonesia juga didominasi aset surat berharga negara (SBN), bukan arus modal asing.

Yanuar menjelaskan bahwa rupiah anjlok karena likuiditas M2 di pasar keuangan dilakukan melalui operasi moneter BI, bukan dari arus dana asing di pasar modal. Dengan pemindahan Kas Negara dari BI ke Himbara, kemampuan BI melakukan operasi stabilitas moneter semakin terbatas. Dalam kondisi global yang ketat, tumpuan stabilitas rupiah hanya pada BI. Namun, sumber daya BI justru dipangkas lewat kebijakan fiskal, sehingga wajar jika rupiah semakin tertekan.

"Dipindah SAL ya akan mengurangi sisi sumber dana BI untuk melakukan operasi stabilitas moneter itu sendiri, disaat tumpuannya adalah BI dengan mengeringnya ekses likuiditas global di pasar keuangan kita," ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa penyuntikan uang ke pasar keuangan di tengah ketidakpastian justru berisiko memicu spekulasi berlebihan. "Jadi natural hedging memang akan dilakukan untuk posisi kurs itu sendiri (terjadi lewat pelemahan kurs rupiah)," tegas Yanuar.