
Penundaan Undang-Undang Antideforestasi Uni Eropa
Uni Eropa akan menunda penerapan Undang-Undang Antideforestasi untuk kedua kalinya. Menurut Komisioner Lingkungan Uni Eropa Jessika Roswall, UU Antideforestasi ini ditunda selama setahun hingga Desember 2026. Sebelumnya, Uni Eropa telah menunda penerapan UU ini selama satu tahun. Namun, hal itu tidak mampu meredakan penolakan dari industri dan mitra dagang seperti Brasil, Indonesia, dan Amerika Serikat (AS). Mereka mengatakan konsekuensi aturan tersebut akan mahal dan merugikan ekspor mereka ke Eropa.
Roswall mengatakan kepada wartawan bahwa penundaan tersebut diperlukan untuk menangani kekhawatiran terkait kesiapan sistem teknologi informasi yang diperlukan untuk mendukung undang-undang tersebut. Penundaan tersebut tidak terkait dengan kekhawatiran AS mengenai kebijakan tersebut.
“Kami memiliki kekhawatiran terkait sistem teknologi informasi, mengingat jumlah informasi yang kami masukkan ke dalam sistem... Hal itu juga akan memberi kami waktu untuk mengevaluasi risiko-risiko yang berbeda,” kata Roswall.
Isu Internal yang Menghambat Target Iklim
Uni Eropa menghadapi perpecahan internal yang menyebabkan kesulitan dalam memenuhi tenggat waktu target iklim. Beberapa negara anggota Uni Eropa, termasuk Polandia dan Austria, menyatakan bahwa produsen Eropa tidak dapat mematuhi aturan pelacakan tersebut. Dalam surat kepada ketua komite lingkungan Parlemen Eropa, Roswall mengatakan Komisi khawatir sistem teknologi informasi berisiko melambat hingga ke tingkat yang tidak dapat diterima, sehingga dapat mengganggu perdagangan.
Para aktivis lingkungan mengkritik keputusan Uni Eropa ini. Nicole Polsterer, seorang aktivis dari kelompok lingkungan Fern, mengatakan: “Setiap hari penundaan undang-undang ini berarti lebih banyak hutan yang ditebang, lebih banyak kebakaran hutan, dan lebih banyak cuaca ekstrem.”
Kebijakan Pertama di Dunia yang Kontroversial
Undang-undang deforestasi Uni Eropa seharusnya berlaku pada 30 Desember 2025. UU ini akan mewajibkan operator yang menjual barang termasuk kedelai, daging sapi, dan minyak sawit ke pasar Uni Eropa untuk memberikan bukti bahwa produk mereka tidak menyebabkan deforestasi.
Kebijakan pertama di dunia ini bertujuan untuk menghentikan 10% deforestasi global yang didorong oleh konsumsi barang impor oleh Uni Eropa. Namun, kebijakan ini merupakan bagian yang kontroversial secara politik dari agenda hijau Eropa.
Persoalan dengan Mitra Dagang dan Industri
Sebagai bagian dari perjanjian perdagangan dengan Presiden Donald Trump, Uni Eropa berkomitmen untuk bekerja sama dalam menangani kekhawatiran produsen AS terkait regulasi tersebut. Industri kertas dan pulp AS sebelumnya telah menuntut agar produk Amerika dibebaskan dari aturan tersebut.
Negara-negara Uni Eropa, termasuk Polandia dan Austria, menyatakan produsen Eropa tidak dapat mematuhi aturan pelacakan tersebut. Mereka khawatir bahwa aturan ini akan memberatkan industri lokal dan mengurangi daya saing produk Eropa di pasar global.
Keberlanjutan dan Tantangan Teknis
Penundaan ini juga disebabkan oleh kekhawatiran terkait sistem teknologi informasi yang diperlukan untuk mendukung undang-undang tersebut. Sistem ini harus mampu mencatat dan memverifikasi sumber bahan baku dari berbagai negara, yang merupakan tantangan besar bagi infrastruktur digital Uni Eropa.
Selain itu, para pemangku kepentingan meminta agar penundaan ini digunakan sebagai kesempatan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam rantai pasok global. Mereka berharap kebijakan ini dapat menciptakan standar baru yang lebih adil dan berkelanjutan.
Proses Persetujuan Akhir
Parlemen Eropa dan negara-negara anggota Uni Eropa harus menyetujui penundaan tersebut sebelum penundaan diberlakukan. Proses ini akan menjadi ujian bagi kemampuan Uni Eropa dalam mengambil keputusan yang seimbang antara lingkungan, ekonomi, dan kepentingan politik.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!