
Rupiah Terus Mengalami Tekanan, Prediksi Kenaikan ke Rp 17.000 per Dolar AS
Nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan dalam beberapa waktu terakhir. Prediksi menunjukkan bahwa rupiah bisa mencapai tingkat Rp 17.000 per dolar Amerika Serikat (AS) pada bulan depan. Hal ini didorong oleh berbagai faktor baik dari dalam maupun luar negeri.
Pada hari Kamis (25/9), rupiah di pasar spot melemah sebesar 0,37% menjadi Rp 16.747 per dolar AS. Pekan ini, rupiah sempat turun hingga ke level Rp 16.758 per dolar AS. Menurut pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi, pelemahan ini dipengaruhi oleh berbagai sentimen yang muncul baik secara domestik maupun internasional.
Ibrahim menyatakan bahwa jika rupiah berhasil melewati ambang batas Rp 16.800 per dolar AS, maka kemungkinan besar rupiah akan mencapai level Rp 17.000 pada Oktober mendatang. Ia menilai bahwa hal tersebut sangat mungkin terjadi.
Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Rupiah
Salah satu faktor eksternal yang memengaruhi pergerakan rupiah adalah ketegangan politik di Eropa. Presiden AS Donald Trump dalam pidatonya di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyampaikan nada yang lebih agresif terhadap Rusia. Ia juga memperingatkan negara-negara agar tidak terus membeli minyak Rusia dan menyebut bahwa Washington sedang mempertimbangkan sanksi terkait energi dari Rusia.
Meskipun belum ada langkah konkret yang diumumkan, retorika Trump meningkatkan risiko geopolitik di pasar. Ke khawatiran adanya sanksi yang lebih keras dapat mengganggu ekspor Rusia atau memicu tindakan balasan dari pihak Rusia.
Selain itu, konflik antara Ukraina dan Rusia tetap menjadi perhatian utama. NATO dan Ukraina ingin wilayah yang dikuasai Rusia dikembalikan. Hal ini menciptakan ketegangan baru, sehingga indeks dolar AS menguat signifikan dan menembus mendekati level 97,850.
Tekanan dari Dalam Negeri
Di sisi lain, sentimen domestik juga berkontribusi terhadap pelemahan rupiah. Bank Indonesia (BI) saat ini terus melakukan intervensi di pasar NDF (Non-Deliverable Forward). Namun, spekulasi besar di pasar internasional membuat BI kesulitan dalam menjalankan intervensi tersebut.
Menurut Ibrahim, intervensi yang dilakukan BI di pasar internasional saat ini tidak memberikan dampak signifikan. Spekulasi yang kuat di pasar internasional membuat intervensi BI menjadi sia-sia.
Selain itu, pasar juga mulai merespons dengan harapan bahwa tax amnesty akan diterapkan kembali. Tax amnesty pernah diterapkan tiga kali selama pemerintahan Presiden Jokowi. Namun, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo, tax amnesty sepertinya tidak akan dilakukan.
Sikap penolakan tax amnesty disampaikan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Hal ini menimbulkan respons negatif dari pasar, karena mereka mengharapkan kebijakan yang lebih fleksibel dalam pengelolaan pajak.
Tantangan dan Harapan untuk Rupiah
Dengan berbagai tekanan yang terjadi, rupiah masih menghadapi tantangan besar. Namun, jika kondisi eksternal dan internal dapat dikelola dengan baik, ada harapan bahwa rupiah dapat pulih dan stabil dalam waktu dekat. Para ahli tetap memantau perkembangan situasi secara cermat, karena setiap perubahan kebijakan atau situasi geopolitik dapat berdampak langsung terhadap nilai tukar rupiah.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!